(Foto menyusul, sabar ya)
Selamat siang,
sekarang sebenarnya saya sudah berada di kampung halaman dan
merasakan beratnya hidup (baca: koneksi internet yang lebih lambat
dari koneksi internet di Jepang). Tak apalah, berikut saya akan
bercerita mengenai pengalaman hari kedua di Jepang. Secara garis
besar, perjalanan Ahad 3 Agustus 2014 ini isinya jalan-jalan mencicip
secuil nikmat Allah yang dihadirkan di sekitar Kumamoto.
Di sini, tersurat saya tidur
pukul 01.30, dan Alhamdulillah membuka mata pukul 04.30 (waktu
setempat) dan bergegas salat Subuh. Setelah menyelesaikan ibadah
rutin, mandi, dan meringsek baju bengonglah saya mau melakukan apa
sampai jam 7 pagi (waktu layanan sarapan di toyoko-inn.com). Alhasil
pukul 6.00 saya sudah turun ke lobi (dan tetap bengong) dan duduk di
meja sarapan.
Sarapan :) |
Baru duduk beberapa
saat, saya sudah takjub dengan Ibu-Ibu (hanya dua sebenarnya) paruh
baya yang mempersiapkan sarapan untuk para tamu penginapan.
Beliau-beliau sigap sekali mempersiapkan ini itu untuk layanan
sarapan hingga pukul 09.30 itu. Teriakan “Ohayou
Gozaimasu!” yang riang nian menyenangkan itu membuat saya nyaman
sarapan di sana. Seketika pukul 07.00 hadir di masa yang baru,
tamu-tamu yang lain dengan tertib mengantri mengambil baki untuk
sarapan. Oh self-service-prasmanan
ya,
begitu pikirku, sambil menyesuaikan posisi diri dengan antrian.
*Ambil baki, ambil nasi kepal, ambil roti, ambil sup, ambil sumpit*,
sepertinya sudah oke deh (dan
berdoa semoga halal).
Tak
lama kemudian (sebenarnya sarapan sudah hampir habis), datanglah
Meladia Elok. Sejenak bercengkrama hingga makanan habis, kami pun
kembali ke kamar masing-masing. Bersiap-siap hingga dijemput Pak Prof
Usagawa pukul 08.30 (waktu yang sebenarnya sedikit tidak masuk akal
setelah semua lelah dan peluh keberangkatan), tapi ajaibnya (dan
Alhamdulillah) kami semua dengan entah bagaimana wujud cara dan
bentuknya bisa hadir dengan berseri-seri ke lobi. Sementara itu,
sebenarnya di Jepang sedang musim panas. Tapi, di Kumamoto musim
panasnya agak-agak galau akibat topan di daerah barat daya Jepang
tempo hari, sehingga hujan bisa hadir sewaktu-waktu. Sehingga, payung
sebenarnya demikian esensial.
Beranjak
ke stasiun tram seberang jalan penginapan.
Walaupun sepi, penyeberang tidak ada yang ngawur nyelonong
ke
tengah jalan dengan modal nekat, apalagi pengendara yang dengan
semangat '45 menerobos lampu merah. Lalu,
kami serombongan pun naik tram (yang cukup sepi) yang jalurnya berada
di tengah-tengah jalan lajur berlawanan. Setelah
beberapa stasiun tram, rombongan ITS dipandu Pak Prof Usagawa
beranjak ke stasiun kereta dari Kumamoto ke stasiun kereta di Aso.
Lagi-lagi, kami dikejutkan dengan sistem pelayanan di Jepang mengenai
tiket kereta. Jika uang yang Anda masukkan lebih banyak daripada
harga tiket yang diinginkan, mesin pembelian tiket akan mengembalikan
uang Anda secara otomatis. Saya yang waktu itu memasukkan uang 1000
yen dengan sembarangan hadapnya tetap dikenali sebagai uang 1000 yen
dan kembali sesuai dengan selisih terhadap harga tiket (berbeda
banget jika
dibandingkan dengan mesin pembelian minuman di halte busway
Jakarta
itu loh #KODE, pengolahan
citra dan visi komputernya mantap - sedikit bumbu mata kuliah tidak
masalah kan?).
Jadwal kereta yang
demikian ketat mengharuskan kita untuk menunggu sekitar 30 menit.
Dalam rentang waktu tersebut, Pak Prof Usagawa memperkenalkan
perangkat mobile wi-fi yang
bisa digunakan ketika perjalanan secara kolektif hingga 5 orang.
Namun, hal tersebut berlaku jika ada sinyal (saja), belum pernah
dicoba di tengah hutan, di dalam laut, dan di luar angkasa oleh kami.
Alhasil, selagi menunggu kereta tiba, ada yang usrek sama
ponsel, kamera, tongsis,
vending machine, dan
lain sebagainya. Ketika kereta tiba, bergeletakan di kursi pun
rasanya indah karen hari tersebut adalah
Ahad dan mayoritas penumpang
kereta ini sepertinya pulang kampung atau liburan.
Setelah
beberapa saat (yang bisa digunakan istirahat sejenak), kami harus
“transit”
ke kota kecil Ozu. Di stasiun kecil di kota kecil ini, kami menunggu
kereta yang khusus ke Aso. Di ruang tunggu yang mewah dan nyaman,
kami menerima penjelasan dari Pak Prof mengenai rute yang dilalui.
Cerita: nanti kereta yang sampai di Aso bukanlah kereta yang dinaiki
sekarang, tapi kereta lain. Keretanya
bisa mundur terus maju lagi lewat jalur lain, karena nggak kuat kalau
langsung dipaksa naik ke Aso. Setelah dijelaskan begitu panjang lebar
oleh Pak Prof, kami diberitahu pula bahwa kereta itu akan datang 40
menit kemudian. Berarti kami bebas melakukan apa saja hingga kereta
datang. Sehingga, apa yang dilakukan rombongan pemuda pemudi ini?
Petunjuk: kamera, tongsis, pemandangan. Yak benar, foto-foto. Bisa
dibilang kami produktif sekali untuk hal ini.
Rekreasi
tersebut selesai tepat waktu karena Pak Prof dengan baik hati
mengingatkan kami untuk segera bergegas naik kereta. Ada hal yang
membuat saya terkesan dengan Jepang (lagi). Di pagar antara platform
untuk
menunggu kereta yang saling berseberangan/berlawanan arah,
digantungkan pot bunga dengan tumbuhan. Reservasi lingkungan sebaik
mungkin. Ketika naik kereta, saya duduk bersama Mia dan Rizqi selagi
menikmati pemandangan asyik
desa-gunung
di antara Ozu-Aso.
Setiba
di stasiun kereta Aso, kami naik bus untuk pergi ke ropeway
Gunung
Aso. Yang menarik adalah... saya ngantuk dan akhirnya tidur. Bukan,
pemandangannya indah sekali walaupun kabut tipis atau sinar matahari
menyeruak begitu saja tanpa permisi. Selagi meletakkan pandangan ke
jendela dan terkantuk-kantuk, saya mendengar para turis asing di
belakang bercakap-cakap. Ils
parlent français! Hendak
saya ajak bicara tapi ya sudahlah. Sudah ngantuk dan malas berpikir
topik, ditambah lagi faktor siapa saya. Pikiran itu dilanjutkan
dengan tidur indah selama beberapa menit sampai tiba di stasiun
ropeway.
Apakah ropeway itu?
Itu lho, kereta gantung. Mirip yang digunakan di Taman Mini Indonesia
Indah.
Seharusnya
di Aso kita bisa melihat pemandangan indah. Hal itu tidak didapatkan
sebagaimana mestinya karena hujan-hampir-badai-sangat-deras menyapa
dengan elegan. Seelegan apa? Ketika akan naik ropeway
sebagian
besar rombongan sudah cukup percaya diri akan naik ropeway
untuk
naik saja dan turun dengan jalan kaki yang sekitar 15 menit karena
mendungnya mungkin masih bisa dilalui dengan baik. Namun,
Alhamdulillah si hujan baik hati sekali mengingatkan kami bahwa
kepercayaan diri dan rencana manusia akan selalu kalah dengan rencana
Tuhan. Cara mengingatkannya sungguh tidak diduga. Sejenak saja si
kereta gantung keluar dari sarang stasiun, badai datang menghampiri
dengan suara air jatuh yang lincah. Sedemikian hingga, rombongan pun
berpikir untuk rencana B untuk turun ke bawah (yang artinya merogoh
kocek lagi untuk turun: 600 yen). Sampai
di stasiun ropeway atas,
kami berunding (ditemani gemuruh dan tetesan air yang lincah) untuk
menentukan langkah selanjutnya. Disepakati jika sampai batas waktu
tertentu, hujannya tidak kunjung reda, kami akan naik kereta gantung
turun, jika sudah reda, kami akan turun dengan jalan kaki ditemani
Pak Prof Usagawa. Namun, Bu Maria, Mbak Lely, dan Mia urung mengikuti
kami yang pergi untuk melihat kaldera karena khawatir akan sakit.
Sehingga, tersisalah 8 mahasiswa ITS agak nekat ditambah Pak Prof
Usagawa pergi menembus gerimis rintik dan kabut tebal hanya untuk
“melirik” (dan foto tentunya) kaldera Gunung Aso.
Singkat
cerita, tantangan dapat kami selesaikan dengan mudah. Hanya saja,
kabut ini mengingatkan saya pada game
Silent Hill
dengan jarak pandang hanya sekitar sekian meter. Tenang kok, kalau
pun ada apa-apa, yang panik ada 8 orang. Misi foto pun terselesaikan,
8+Pak Prof di depan kaldera yang tidak kelihatan. Sekembalinya ke
stasiun atas Gunung Aso, si hujan kembali menyapa. Sejenak kami
berdelapan merasa tidak OK. Lalu,
setelah reda, kami berdelapan bersama Pak Prof turun ke bawah dengan
jalan kaki (tuh kan, nekat, kakek dengan dua cucu diajak sejumlah
muda mudi turun gunung, mungkin kami tidak tahu diri? Tapi mah, Pak
Prof iya iya aja tuh). Perjalanan pun berjalan sedikit tersendat
(red: tersendat adalah berhenti sejenak untuk berfoto, ber-tongsis,
dan meneriaki salah seorang dari rombongan yang ber-selfie),
tapi untunglah sampai di stasiun ropeway
bawah.
Merasa lelah, kami pun leyeh-leyeh sebentar bergegas
ke toko
es krim cone yang
ada di dekat stasiun. Meninjau tiket ropeway
bisa digunakan untuk
diskon 30% es krim. Kami sepakat untuk meninjau cita rasa dari es
krim teh hijau yang dijual. Alih-alih
mendapatkan es krim teh hijau, saya mendapat
es krim vanila dengan biji wijen hitam karena
kehabisan (tidak apa-apalah, masih es krim kok).
Lalu, kami baru keliling
melihat-lihat barang yang bisa dibeli (tapi akhirnya saya tidak
beli). Si Zendy beli chochobi (itu lho, jajannya Shinchan), terus
saya mengandai-andai (Oh, beneran ada ya? Kekuatan pemasaran dari
film animasi keren sekali kalau begitu).
Perjalanan pulang
dimulai dengan naik bus setelah leyeh-leyeh cakep di depan perhentian
bus. Isi perjalanan pulang ini adalah… tidur. Pindah dari bus ke
kereta… lalu tidur. Pindah dari kereta ke tram… melek (karena
berdiri). Setelah dari stasiun tram, menyeberang jalan, ke lobi tidur
lagi, Pak Prof menjelaskan
rencana perjalanan untuk besok, bagaimana naik bus dari penginapan ke
kampus Kumamoto University. Saya dan Zendy pun mengajukan diri untuk
mempelajari bagaimana cara naik busnya (hanya diperlihatkan sih).
Lalu, kami beranjak ke halte bus Suido-cho dan melihat bus yang mana
yang harus ditumpangi. Kemudian, saya dan Zendy diajak berjalan-jalan
ke area Shimotori untuk melihat area pertokoan dan makanan di sana.
Sekembali
dari jalan-jalan, salat,
mandi, dan lain sebagainya, muncullah tantangan: CARI MAKAN. Singkat
cerita, setelah saling mencari (ada hilang koordinasi) dan ini dan
itu, serta beberapa kali foto. Makannya sama saja seperti yang di
Indonesia: KFC. Rasanya sulit sekali cari makanan yang “aman”.
Tapi, mau tidak mau, ya begini jadinya. Semoga tetap barokah *kepepet
karena kurang pengetahuan*. Malam ini ditutup dengan briefing di
kamar Bu Maria mengenai perjalanan pertama SAKURA sebenarnya di
Universitas Kumamoto besoknya.
Akhir tulisan,
perjalanan kali ini membawa hikmah-hikmah tersendiri
Sedari
menginap di penginapan hingga naik tram, saya jadi sadar, uang koin
di Jepang itu sangat berharga. Uang koin di Jepang terdiri dari
beberapa variasi saja: 1 yen, 5 yen, 10 yen, 50 yen, 100 yen, 500 yen
(hanya 6 lho!). Tapi, untuk membeli minum di vending
machine
sekedar sebotol, kita harus merogoh kocek sebesar 120 yen. Jika
di-kurs-kan ke rupiah, jadinya 12.000
rupiah-an. Untuk
bepergian via tram, biayanya 150 yen (all
route).
TAPI,
jangan buru-buru pake kurs, dijamin kita tidak akan tenang buat
membeli apa-apa dan pergi ke mana-mana.
Meskipun biaya yang harus dibayar
mungkin harus mengelus dada jika meninjau kurs, pelayanan dari
fasilitas umum tidak diragukan lagi. Nilai uang terlalu besar? Ada
mesin tukar uang otomatis. Kernet? Tidak diperlukan karena penumpang
dituntut untuk tahu di mana harus turun. Tapi, kalau pun terlewat
tarifnya tidak beda jauh (tetap sama kalau untuk tram). Sama
seperti makan, merupakan tantangan sendiri bagi muslim (walaupun
hidup saya di sana cuma seminggu ketika itu). Mandiri di negeri orang
mungkin bukan hal yang mudah, tapi selama ada niat dan percaya semua
akan dipandu Yang Maha Kuasa, Insya Allah kita akan menemukan jalan
keluar.
Meninjau menyemangatinya Ibu-Ibu kantin penginapan, budaya antri, rapinya jadwal tram, bus, dan kereta, keselamatan dan saling menghormati antara pengguna jalan, saya pun berandai akan indahnya Indonesia dengan kedisiplinan dan etos kerja tinggi seperti itu. Saya jujur merasa bersemangat sekali ketika Ibu-Ibu kantin penginapan mengucapkan ohayou gozaimasu dan dengan cekatan menyiapkan nasi dan sarapan untuk kami. Seakan-akan setiap tamu yang sarapan di sana dihargai lebih tinggi dan akan bekerja lebih baik jika disenyumi. Maka dari itu, introspeksi bagi diri saya sendiri, senyum dan semangat kita tidak hanya untuk diri kita, tapi untuk orang lain yang bersentuhan dengan kita.
Meninjau menyemangatinya Ibu-Ibu kantin penginapan, budaya antri, rapinya jadwal tram, bus, dan kereta, keselamatan dan saling menghormati antara pengguna jalan, saya pun berandai akan indahnya Indonesia dengan kedisiplinan dan etos kerja tinggi seperti itu. Saya jujur merasa bersemangat sekali ketika Ibu-Ibu kantin penginapan mengucapkan ohayou gozaimasu dan dengan cekatan menyiapkan nasi dan sarapan untuk kami. Seakan-akan setiap tamu yang sarapan di sana dihargai lebih tinggi dan akan bekerja lebih baik jika disenyumi. Maka dari itu, introspeksi bagi diri saya sendiri, senyum dan semangat kita tidak hanya untuk diri kita, tapi untuk orang lain yang bersentuhan dengan kita.
Kesan
paling unik muncul ketika bertemu Pak Prof Usagawa, yang dengan
semangat super tinggi dan kedisiplinan oke (tapi maklum banget sama
rombongan kayak kami, sudah tahu lah bagaimana bandelnya ketika
tongsis diluncurkan). Bapaknya masih senyum lebar banget melihat
lincahnya kami. Mungkin ini juga representasi etos kerja orang Jepang
yang sangat tinggi. Pak Prof sangat perhatian terhadap kami. Pak Prof
top banget deh!
Mungkin sedemikian itu saja tulisan untuk hari “Jalan-jalan” ke
Gunung Aso. Mohon diambil yang baik dan dikomentari yang buruk. Jika
ada kritik maupun saran yang bisa membangun, saya akan sangat
bersenang hati menerimanya. Semoga kita bisa menjadi pribadi lebih
bermanfaat lagi.
Terima kasih
Wassalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh.
0 komentar:
Posting Komentar