Rabu, 06 Januari 2016

Cerpen: Nina Kecil Sekolah di Indonesia

Waaaaah, kita sudah sampai di Indonesia, Yah, Ibu!” sahut Nina dengan riang. Hamparan aspal luas dan rerumputan hijau yang rata menyambut pendaratan burung besi yang ditumpanginya. Jajaran huruf “SOEKARNO HATTA” turut mengiringi arah pandangan Nina. Di dalam pesawat, Nina duduk di samping jendela. Posisi ini didapatnya setelah bertukar tempat duduk dengan sang Ayah. Tidak lama kemudian, kakak pramugari manis membantu rombongan kecil itu turun dari pesawat. Yah, akhirnya kakak pramugari itu berhasil menenangkan tingkah gadis 8 tahun itu. Nina tampaknya sedikit terlalu bersemangat sampai di Indonesia.
Merci! Au revoir, Madame!1”ujar Nina kepada kakak pramugari di sampingnya itu.
Ayah Nina dengan sigap mengambil koper yang disimpan di rak di atas tempat duduk mereka. Ayah Nina berperawakan tinggi tetapi tidak terlalu besar, tidak kurus dan juga tidak terlalu gendut. Rambut Ayah Nina sudah mulai menipis namun masih sering dimainkan Nina. Sedangkan, Ibu Nina sendiri adalah seorang wanita cantik dengan rambut hitam panjang tergerai dengan garis wajah keibuan yang kentara di pipinya. Tinggi Ibu Nina hanya sekitar berbeda 5 sentimeter dengan Ayah Nina. Nina, buah hati mereka, tingginya mencapai sepinggang Ibunya lebih sedikit. Mata Nina terlihat besar dengan lesung pipit dan pipinya yang tembem. Mereka bergantian menyalurkan bawaan mereka dan berjalan di antara kursi-kursi pesawat menuju pintu keluar.
Tidak lama, jejak langkah keluarga kecil tersebut menjauh dari pesawat. Lalu, Nina menoleh lagi ke belakang. Senyum si pramugari terlihat semakin kecil dari lambaian tangan Nina. Tatkala tiba di gedung bandar udara, tiga pasang kaki itu langsung menuju arah imigrasi dengan paspor Indonesia. Selesai urusan di imigrasi, mereka pun dinyatakan sebagai orang yang resmi kembali pulang di tanah air. Mereka semua siap menjalani hidup baru di Indonesia setelah banyak kenangan indah yang terjadi selama 3 tahun di negeri Heksagon, Prancis.
***
“Nina? Nanti malam mau Ibu masakkan apa?” tanya Ibu Nina kepada Nina.
“Mmmmmm, Nina mau makan rawon boleh, Bu?” jawab Nina.
“Eh, jangan Bu. Kemarin sudah soto, jangan masakan Indonesia lagi. Nanti bumbunya cepat habis,” tiba-tiba ralat Nina dengan cepat. “Sup ayam saja, Bu.”
“Oke, Ayah juga mau, kan ya?” Tanya Ibu Nina kepada Ayah Nina.
“Apapun yang Ibu masak, ayah pasti akan makan!” Sahut Ayah Nina bersemangat.
Pembicaraan pagi hari di sudut apartemen kecil itu mewarnai kehidupan keluarga kecil itu selama 3 tahun. Topiknya pun beragam, mulai dari menu makan malam, kegiatan Ibu di siang hari, pelajaran Nina hari itu, rencana liburan ke luar kota, kehebohan persiapan sidang penentuan kelulusan sang Ayah dari studi doktoralnya, sampai rencana kepindahan keluarga kecil itu ke Indonesia. Bagi keluarga tersebut, kesederhanaan dialog pagi tersebut mengalahkan kemegahan menara Eiffel. Meskipun menara Eiffel bisa mereka lihat setiap hari ketika naik bus menuju sekolah Nina atau menuju kampus Ayah.
Ketika baru saja tiba di Prancis, memang semua tidak berjalan lancar. Nina merengek minta pulang tidak ada habisnya saat mendapati di Prancis tidak ada nasi. Untungnya, perkara nasi ini baru terselesaikan ketika Ibu Nina menemukan toko yang menjual beras kiloan seminggu kemudian.
Di kemudian hari, tangisan Nina semakin menjadi ketika Nina mengamuk meminta nogosari2, cemilan favoritnya. Tentu saja makanan khas Indonesia itu hampir tidak bisa ditemukan di Prancis, kecuali dibuat sendiri. Alhasil, dengan susah payah, Ibu dan Ayah Nina berhasil membuat nogosari ala kadarnya di akhir minggu. Bisa dibilang prestasi Ibu dan Ayah Nina dalam membuat nogosari cukup membanggakan. Meskipun nogosari buatan sendiri itu berbungkus kertas aluminium, beradonan tepung beras terlalu lembek di sana-sini, dan berpisang tidak sama dengan yang di Indonesia, Nina akhirnya maklum dengan usaha orang tuanya itu.
“Enak kok, Ayah, Ibu! Nina suka! Kapan-kapan buat lemper3 ya!” kata Nina. Kedua orang tua Nina hanya saling menatap dan menghela napas panjang.
***
Seminggu setelah tiba di Indonesia, saatnya Nina masuk sekolah sebagai murid kelas 3 SD. Masuk SD bukan merupakan hal sulit bagi Nina karena berbagai hal merepotkan sudah diurus oleh Ibu Nina di Prancis dan Paman Egi di Indonesia. Mereka percaya usaha mereka akan membuahkan hasil. Dan akhirnya, Nina dinyatakan secara resmi masuk ke SD Swasta yang hanya berjarak 1 kilometer dari rumahnya.
Sehari sebelum berangkat sekolah, Ibu Nina memeriksa jadwal pelajaran Nina untuk hari pertama sekolah. Bahasa Indonesia 2 jam pelajaran, Matematika 1 jam pelajaran, istirahat, dan, Agama 2 jam pelajaran. Dalam pikiran Ibu Nina, Bahasa Indonesia sepertinya tidak ada masalah, mungkin hanya perbedaan pelafalan huruf “R” dan mengikuti pelajaran sedikit. Di Prancis, Ibu Nina juga sudah banyak mengajarkan cara membaca dan membentuk kalimat untuk Nina. Matematika juga seharusnya Nina sangat cerdas menghitung, pikir Ibu Nina.
“Hmmmm…. Agama Islam ya?” ucap Ibu Nina lirih. “Nina, ke sini sebentar, Nak!” sahut Ibu Nina.
“Iya, Bu?” Tanya Nina ketika bergegas masuk ke kamarnya.
“Nina, besok kan ada pelajaran Agama Islam. Di sekolah Nina yang lama kan tidak ada,” ujar Ibu. “Nina, dengarkan pesan Ibu untuk besok, ya.”
“He em,” angguk Nina.
“Nina, besok bawa kerudung untuk pelajaran Agama Islam, dipakainya ya ketika pelajaran Agama Islam. Lalu, jika ada yang Nina tidak tahu, ditulis dulu di kertas untuk ditanyakan ke guru Agama Islam. Ditanyakannya nanti saja, ketika pelajaran selesai, datang ke gurunya. Kan Agama Islam juga jam terakhir, jadi bisa saat pulang. Jika Nina ditanyai guru tentang sesuatu yang Nina tidak tahu atau belum pelajari, bilang saja ‘Maaf Bapak atau Ibu, saya belum belajar mengenai hal itu’. Mengerti?” ucap Ibu Nina menjelaskan panjang.
“Hm, iya, Bu. Nina mengerti. Besok Nina lakukan, Bu,” angguk Nina lagi.
“Sip, Nak. Besok ketika pulang cerita ke Ibu ya, bagaimana sekolahnya,” pinta sang Ibu.
“Siap, Bu!” sahut Nina bersemangat. “Nina boleh pergi lagi?”
“Iya, main lagi, ya!”
Ibu Nina merasa lega Nina paham dengan pesannya. Nina pun juga tidak kalah berdebar-debar menghadapi esok hari. Apakah Nina akan memiliki teman-teman yang baik, apakah gurunya juga baik, apakah makanannya enak. Semua misteri itu akan terjawab esok harinya.
***
Hari itu, Nina mengenakan baju putih-merah ketika tiba di sekolah. Namun, pola dari baju Nina sedikit berbeda dengan anak-anak sebayanya di sekolah itu. Rasa kurang percaya diri muncul di diri Nina. Tetapi, setelah melihat senyum ibunya, Nina merasa semuanya akan baik-baik saja.
Sebelum masuk kelas, Nina diantarkan ibunya ke ruang tata usaha dan dikenalkan dengan beberapa guru, termasuk wali kelasnya, Bu Ratih. Bu Ratih kemudian mengantarkan Nina ke ruang kelasnya di lantai dua. Bu Ratih sedikit menerangkan ke Nina bahwa muridnya ada 23 anak. Ditambah Nina, akan menjadi 24 anak. Dan, perkenalan pun dimulai.
“Selamat Pagi, perkenalkan nama saya Nina Prayogi. Saya biasa dipanggil Nina,” begitulah pengumuman Nina di depan kelas dengan logat yang kaku dan berbeda.
“Halo Nina!” Ujar seisi kelas.
“Nina, kamu duduk di sebelah Risa, ya!” Kata Bu Ratih sambil menunjuk bangku kosong di sebelah anak berkerudung.
Nina berjalan ke arah bangku tersebut sambil menenteng tasnya. Tiba-tiba dia diajak bicara oleh Risa.
“Halo, Nina, aku Risa,” kata Risa tersenyum untuk membuka pembicaraan.
“Halo, Risa. Saya Nina,” balas Nina sambil tersenyum pula.
Selepas itu, Bu Ratih menjelaskan bahwa Nina adalah pindahan dari Prancis. Prancis adalah negara yang berkilo-kilometer jauhnya dari sekolah itu. Prancis terkenal karena keju dan menara Eiffel, serta roti panjang yang dikenal dengan nama baguette. Riuh terdengar dari ruang kelas itu. Banyak yang penasaran bagaimana Prancis, dan begitu juga mengenai Nina.
Pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan jam istirahat berakhir begitu saja. Nina berhasil mengikuti pelajaran dengan lancar walau tertinggal beberapa minggu. Meskipun Nina tidak mengetahui beberapa kata-kata dalam Bahasa Indonesia ketika mengerjakan soal, untunglah Risa baik hati membantu Nina untuk memahami kata-kata tersebut. Risa berusaha untuk menjelaskan dengan bantuan bahasa isyarat dan gerakan tubuh.
Tiba saatnya pelajaran Agama. Nina sebenarnya agak takut mengenai pelajaran ini, karena ini pelajaran agama Nina pertama kalinya. Terhitung sekitar 10 anak meninggalkan kelas. Anak-anak ini meninggalkan kelas karena beragama selain Islam. Sedangkan, siswa lainnya bersiap untuk pelajaran Agama Islam. Anak laki-laki mengenakan peci dan yang perempuan mengenakan kerudung, kecuali yang sudah berkerudung seperti Risa. Tidak sampai dua menit, sesosok wanita pendek berkacamata namun dengan paras lembut memasuki ruang kelas Nina.
“Assalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh, anak-anak!” sapa orang itu.
“Wa’alaykum salam warahmatullahi wabarakatuh, Bu Izzah!” balas seluruh kelas, kecuali Nina yang hanya bisa menyebut salam tanpa sapaan.
“Wah, kita sepertinya punya murid baru. Perkenalkan diri dulu ya ke Bu Izzah, silakan, Nak!” kata Bu Izzah menunjuk dirinya dan setelah itu menghampiri Nina.
Nina menatap Bu Izzah dengan perasaan yang agak grogi. Nina merasa sedikit canggung dengan kerudung Bu Izzah ini. Bu Izzah ini sangat terlihat lembut dan sabar. Tetapi, Nina berusaha membuka mulut.
Bonj… Eh, halo, Bu Izzah. Nama saya Pra… eh Nina. Nina Prayogi,” kata Nina terbata-bata.
“Wah, namanya Nina, ya. Nama saya Izzah. Nur Faizzah. Selamat datang, kalau ada yang tidak tahu, tanyakan ke Ibu ya?” kata Bu Izzah.
“Iya, Bu,” kata Nina.
***
“Anak-anak, sebelum kita mulai pelajaran. Ayo, kita ulang dulu rukun islam dan rukun iman! Mulai dari Yahya sampai ke Indah!” Kata Bu Izzah menunjuk anak dari ujung belakang kanan hingga ujung depan kiri. “Ya, Yahya! Rukun islam pertama!”
“Syahadat, Bu!” Jawab Yahya berdiri, kemudian duduk.
“Kedua, salat!” Jawab anak selanjutnya.
Jawaban-jawaban bermunculan terus hingga giliran Nina, yang mendapatkan jatah menjawab rukun iman keempat. Keringat Nina bercucuran. Rukun iman dan islam tidak pernah diketahui oleh Nina sebelumnya. Baik ibu maupun ayahnya belum pernah memberitahunya ketika di Prancis. Atau mungkin pernah, tetapi Nina lupa karena terlalu grogi. Ingatan mengenai kegiatan belajar mengaji di kedutaan besar di Paris tidak membantunya pula. Kalau mengaji, bolehlah kemampuan Nina diadu.
Risa sebenarnya melihat ketegangan Nina. Risa mengisyaratkan sesuatu. Namun, terlambat, giliran Nina sudah sampai terlebih dahulu sehingga Nina. Nina pun berdiri.
“Ehm… Mmmm… iman kepada… kepada…,” Nina pun tertunduk malu. “Emm, Bu Izzah. Maaf, saya be… belum pernah belajar rukun iman.”
Nina melaksanakan pesan ibunya di hari sebelumnya. Terdengar suara tawa anak-anak di dalam kelas. Mungkin tidak semua. Ada yang dengan nada sedikit merendahkan. Juga terdengar sayup-sayup entah dari mana dan siapa, “Wah, rukun islam dan rukun iman yang mudah itu saja tidak bisa. Aku sejak TK saja bisa.”
Nina kembali duduk setelah itu, tertunduk. Risa mengerti apa yang dihadapi teman barunya. Kemudian, dia menepuk punggung Nina. Lalu, Risa berkata, “Sabar ya. Teman-teman tidak serius, kok. Sabar, ya.”
“Iya, Ris-Risa. Ti.. Tidak apa-apa kok,” suara Nina agak bergetar.
Bu Izzah memandangi Nina dengan tatapan penuh pengertian. Nina tidak sadar akan hal itu. Bu Izzah lalu meminta Risa menjawab jatah pertanyaan Nina dan untuk Risa sendiri setelah menghibur Nina.
Risa kemudian berdiri dan menjawab, “Rukun iman keempat, Iman kepada Rasul. Kelima, Iman kepada Hari Kiamat.”
Risa kembali duduk. Pelajaran Agama Islam berlanjut ke sifat-sifat wajib Allah. Nina sudah kembali siap menerima pelajaran. Dalam pelajaran ini dibahas hanya lima. Mendengar hal ini, banyak hal muncul dalam benak Nina. Nina menuliskan semua pertanyaan yang terpikirkan ke atas kertas untuk ditanyakan nanti ke Bu Izzah.
Krrrrriiiiiiiing,” bel sekolah tanda akhir pelajaran berbunyi. Itu tandanya pulang sekolah. Lima menit sebelumnya Ibu Nina sudah datang ke sekolah untuk menjemput Nina. Ibu Nina menunggu di depan pintu sekolah.
Risa dan anak-anak lain sudah mengemasi tas sekolahnya dan beranjak pergi. Nina sengaja mengakhirkan kepulangannya untuk menanyakan banyak hal ke Bu Izzah. Bu Izzah juga berniat sama. Bu Izzah ingin mengajak Nina berbicara lebih banyak mengenai pengalaman bersekolah di Prancis.
Bu Izzah…”,“Nina...,” ucap Nina dan Bu Izzah bersamaan.
Baik, Nina dulu ya?” Tanya Bu Izzah.
Iya Bu. Sebelumnya maaf, Bu. Tadi saya tidak bisa menjawab pertanyaan Ibu.”
Tidak apa-apa. Ibu maklum kok. Ibu juga mohon maaf menanyakan hal yang mungkin belum Nina ketahui.”
Iya Bu, saya ingin tahu rukun iman dan rukun islam.”
Iya, Ibu terangkan dulu ya. Rukun Iman itu ada 6. Yang pertama, iman kepada Allah. Kedua, iman kepada malaikat. Ketiga, iman kepada Al-Quran. Keempat, iman kepada rasul. Kelima, iman kepada hari kiamat. Keenam, iman kepada qadha’ dan qadar. Nina paham?”
Iya, Bu. Boleh lanjut lagi?”
Sebenarnya, muncul pertanyaan-pertanyaan baru di benak Nina. Hal itu juga dicatat dalam kertas catatan Nina. Lalu, langsung ditanyakan setelah Bu Izzah selesai menerangkan rukun islam. Pembicaraan terbuka mulai dari apa arti iman, islam itu apa, dan tak terasa sudah berlalu 30 menit.
Ibu Nina yang ingin tahu mengapa Nina sangat lama berada di kelas segera masuk ke dalam gedung sekolah. Mula-mula, Ibu Nina mengganti sepatu dengan sandal yang disediakan untuk berkeliling di sekolah di penitipan sepatu. Lalu, Ibu Nina berjalan ke ruang kelas Nina di lantai dua. Ibu Nina pun melihat Nina sedang berkerudung dan bercakap-cakap ke seorang guru di meja guru. Ibu Nina merasa pembicaraan Nina sangat asyik. Dan Ibu Nina melangkahkan kaki ke dalam kelas dan mengucap, “Assalamu’alaykum.”
Salam Ibu Nina dibalas oleh Bu Izzah dan Nina. Ibu Nina mengajak Nina pulang karena sudah terlalu siang. Bu Izzah memohon maaf kepada Ibu Nina dan memperkenalkan diri ke Ibu Nina. Bu Izzah menjelaskan kepada Ibu Nina apa yang mereka sedang diskusikan dan bagaimana tingkah Nina ketika di dalam kelas. Ibu Nina mengangguk-angguk. Tidak lama kemudian, mereka berpisah.
“Bagaimana tadi sekolahnya, Nina?” Tanya Ibu Nina ke Nina.
“Asyik sekali, Bu! Nina punya teman baru, dan gurunya baik-baik!” jawab Nina selagi mereka menuruni tangga.
Ibu Nina mengembalikan sandal sekolah ke penitipan barang dan mengganti alas kaki ke sepatu lagi. Sedangkan Nina, mengganti sepatu ke lemari yang khusus disiapkan untuk penitipan sepatu bagi para murid. Nina mendapati ada surat di dalamnya.
“Nina, maafkan kami ya. Kami tadi mengejek kamu. Risa tadi memberitahu kami kalau kamu di Prancis tidak belajar agama islam seperti kami. Besok kamu mau main ke rumah Indah tidak sepulang sekolah?” tertulis demikian dalam surat yang diselipkan di bawah sepatu Nina.
Nina pun tersenyum. Banyak hal yang terjadi selama hanya satu hari di sekolah barunya. Mulai dari teman baru, guru-guru yang menyenangkan, terutama kembali ke kue-kue yang Nina senangi. Belum lagi hal baru yang belum atau jarang Nina pelajari sebelumnya, agama islam. Menurut Nina, hidup barunya ini akan lebih menyenangkan lagi daripada di Prancis. Semoga semuanya akan baik-baik saja, pikir Nina.
“Nina, ayo pulang!” panggil sang Ibu dari ujung pintu.
“Iya, Bu!” jawab Nina sambil berlari kecil ke arah pintu sekolah.
Begitulah kedua pasang langkah kaki itu meninggalkan sekolah baru Nina. Keluarga kecil itu akan mendapat banyak hal yang mewarnai hidup baru mereka. Berbeda dengan 3 tahun sebelumnya, sebelum berangkat ke Prancis dan di Prancis. Perbedaan pengetahuan dan pengalaman Nina malah membuat semua hal yang dihadapinya di Indonesia menyenangkan. Begitulah hidup baru Nina. Au révoir!
1Bahasa Prancis, terjemahan: “Terima kasih! Sampai jumpa, Nyonya!”
2Kue tradisional khas Indonesia yang berupa kukusan adonan tepung beras yang berisi pisang dan dibungkus daun pisang

3Kue tradisional khas Indonesia yang berupa kukusan beras ketan berbentuk kotak yang biasanya berisi daging