Rabu, 30 Juni 2010

Keluarga Cemara, Sekarang di Manakah Sinetron Sarat Makna itu?

Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh...

Tulisan ini inspired by tulisan dari newsbenagung tentang... http://newbensagung.wordpress.com/2008/03/05/kurindu-keluarga-cemara/ (maaf ya... mungkin agak tidak sopan) dan thread di Indowebster.web.id http://www.indowebster.web.id/showthread.php?t=57703


Tontonan saya  zaman putih merah (SD maksudnya) tiap setengah 2 (atau setengah satu ya..? pokoknya setelah buletin siang) di RCTI. Sinetron (iya, sinetron) yang memiliki banyak makna tentang pelajaran kehidupan. Kehidupan tentang sebuah keluarga sederhana yang berjuang melawan kerasnya hidup zaman sekarang. Para tokohnya yang sangat sederhana ditampilkan apa adanya dalam tayangan yang kurang lebih berdurasi satu (1) jam dengan iklan.

Sang ayah, atau dipanggil Abah, adalah seorang tukang becak, sebelumnya beliau berprofesi sebagai pengusaha, tapi kemudian beliau ditipu dan akhirnya jatuh miskin. Emak, istri Abah, yang selalu sabar dan setia menemani suaminya. Euis, kakak tertua para putri pasangan Emak dan Abah. Meskipun Euis pernah mencicipi kenikmatan yang pernah Abah dapatkan ketika Abah masih menjadi pengusaha, tapi setelah jatuh miskin, perilaku Euis tidak menjadi serakah dan tidak mau menerima apa yang terjadi. Bahkan, Euis mengikhlaskan semua yang terjadi dan Euis mau membantu berjualan opak sepulang sekolah agar asap dapur di rumahnya tetap mengepul. Lalu, anak kedua, yaitu Cemara, yang biasa dipanggil Ara. Ara sangat mengerti keadaan keluarganya walaupun dia masih duduk di bangku sekolah dasar, Ara sering membantu kakaknya untuk berjualan opak. Pernah suatu kali, Ara terpaksa memotong rambutnya agar dia mampu mengikuti lomba tari yang sebenarnya dikhususkan untuk anak laki-laki agar dia bisa membantu keluarganya. Lalu, anggota terakhir dari keluarga ini adalah Agil. Putri paling kecil dari keluarga ini adalah seorang yang polos dan masih kecil, terkadang dia merasa iri (atau apa ya, lupa bahasanya) dengan orang-orang kaya di sekitarnya yang menyombongkan kekayaannya. Namun, pada akhirnya Agil mampu mengerti keadaan keluarganya yang sederhana sekali tersebut.


Sekelumit paparan saya tentang cerita di atas paling tidak membuka sesuatu yang berlawanan (SEKALI) dengan tayangan-tayangan sinetron masa kini (yang sangat tipikal dengan: 1.cinta 2.glamornya orang kaya 3.yang jahat makin licik, yang baik makin tertindas 4.dan lain sebagainya). Sinetron ini menonjolkan keagungan kasih sayang dan  ikatan sebagai keluarga, yaitu perasaan saling membantu dan kompak antara kakak dan adik, saling pengertian terhadap anggota keluarga, hubungan suami istri yang tulus dan harmonis, serta perasaan berbakti kepada orang tua (bukan saling menjatuhkan antarsaudara, memperebutkan harta warisan, cekcok sana sini, hubungan tidak sehat antara suami dan istri serta yang paling parah kedurhakaan anak terhadap orang tua) yang sangat jelas digambarkan pada theme song-nya. Dan terlebih lagi kesukaan dan keikhlasan dalam menjalani hidup yang berat walaupun dirundung masalah ekonomi yang tak habis-habisnya juga menjadi poin penting utamanya sinetron ini.

Dan sungguh terlalu banyak jika diumbar satu per satu di blog saya...

Seharusnya, menurut saya, esensi dari tayangan televisi (khususnya sinetron) adalah edukasi dan pencerminan budaya bangsa sendiri (budaya bangsa yang dibicarakan bukan termasuk korupsi, kolusi, nepotisme dan sebagainya karena itu BUKAN budaya kita yang sesuai Pancasila). Dan Keluarga Cemara termasuk salah satu sinetron yang saya rekomendasikan untuk tontonan zaman sekarang KALAUPUN masih ada dan ada stasiun televisi yang mau menayangkan ...

Mungkin cukuplah sekian cuap-cuap protes dan rindu saya...

Mohon maaf jika ada salah kata dan ketik...

Sekian.. Semoga bermanfaat..

Wassalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh...

Senin, 14 Juni 2010

Seandainya...Besok Sudah Tidak Terdengar Adzan

Assalamu 'Alaikum Wr.Wb.

Alhamdulillah... Sudah tulisan ke-4 (setelah berminggu-minggu hengkang dan terlunta-lunta)...

Mungkin banyak atau sebagian atau sedikit dari kita umat muslim, yang menyadari panggilan lima kali sehari untuk bertandang menghadap Allah SWT secara rohaniah ini untuk mencanangkan tiang agama ini. Ya, itulah Adzan...

Mungkin banyak dari kita sendiri yang tidak beruntung untuk bisa mendengar adzan Subuh dalam terbukanya mata di pagi hari. Dan alhamdulillah masih bisa melaksanakan salat Subuh. Lalu, melanjutkan aktivitas seperti biasa.

Tapi, seandainya adzan tidak pernah bisa terdengar lagi atau tidak pernah bisa didengar lagi di dunia -Astaghfirullah, Naudzubillahi min dzalik-. Apa yang akan kita lakukan?

Entah mengapa, terbersit hal ini dalam pikiran saya pukul dua pagi (terbangun dan tidur lagi). Mungkin saya hanya bisa menangisi telinga saya (kesimpulan satu: karena mungkin telinga saya yang bermasalah), berdoa dan pasrah (kesimpulan dua: karena mungkin ajal sudah menjemput), atau tidak tahu harus berbuat apa (kesimpulan tiga: karena suatu alasan, satu hal yang bernama "adzan" sudah terhapus dari dunia ini -naudzubillah-)

Dari tiga kesimpulan di atas, karena dua kesimpulan yang awal sepertinya saya tidak tahu harus mulai dari mana untuk dibahas, saya memutuskan untuk beropini di kesimpulan ketiga.

Hmm... Mungkin suatu hal yang aneh jika terpikirkan. Tidak ada adzan. Apakah mungkin, jika tidak ada salat lagi? Tidak ada bacaan Al-Quran? Atau bahkan, Islam lenyap dari jejak kehidupan? -Alhamdulillah jika jawabannya semua itu tidak mungkin terjadi-

Hanya saja, jika terjadi. Apa yang akan kita lakukan? Jika seakan-akan ingatan tentang Islam lenyap seketika dan tidak bisa berbuat apa-apa. Saya mungkin akan melakukan ingatan kilas balik menuju pengetahuan tentang waktu ketika para Rasul menyebarkan ajaran tauhid. Betapa kerasnya perjuangan beliau-beliau untuk memperjuangkan agama Allah dengan bukti-bukti yang nyata. Walaupun berkali-kali ditolak dan dimusuhi, Beliau-beliau tidak pernah menyerah. Beliau-beliau mengumandangkan dakwah untuk menganut ajaran tauhid. Namun, tidak digubris bahkan terseret dalam kondisi sampai nyawa hampir melayang.

Apakah saya mampu membangkitkan Islam kembali? Melakukan dakwah saja saya masih berusaha dengan kemampuan saya yang terbatas dan itupun belum mencapai kata maksimal.Entah mengapa, seperti mengobarkan asa dalam selimut keputusasaan yang tebalnya tiada terukur. Tapi, usaha tersebut adalah suatu keharusan jika hal itu memang terjadi ataupun dalam keadaan seperti ini.

Saya sadar betapa mulianya panggilan salat tersebut. Terlebih lagi agama Islam itu sendiri. Andaikan besok sudah tidak terdengar adzan (saya akan memeriksakan diri ke dokter THT ~maaf, sedikit sisipan tidak penting), saya ingin membangkitkan adzan itu kembali.

Mungkin sekelumit kobaran semangat dan asa yang terketik oleh jemari saya hanya akan memenuhi sepersekian juta dari jagad maya ini. Namun, terima kasih bagi siapapun yang membaca, dan saya mohon kritik, saran dan komentar. Maaf apabila terjadi salah pengertian, salah kata, salah ketik, dan kekacauan tulisan saya.

Syukron. Wassalamu Alaikum Wr.Wb.