Senin, 22 September 2014

Perpisahan Penuh Kenangan untuk Perantau Baru


Assalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh

Bismillahirrahmaanirrahiim


Mohon maaf saya menulis tulisan-tulisan di blog ini maju mundur, ini karena mood dan juga banyak kejaran hutang tulisan *Duh, penulis hutangan*. Kali ini kisah penulis terjadi di tanah rantau yang pertama kali penulis injak di negeri orang, tersebut negeri keju, ya Perancis (katanya orang-orang sih ini tulisan yang ditunggu-tunggu, ya sudah saya tulis semampu saya ya).

4 September 2014

Masih tunggang langgang di kampus perjuangan urus ini itu. Di Pascasarjana, masih tanda tangan dan tanya ini itu. Di Teknik Informatika, cetak berkas ini berkas itu, melayani permintaan sahabat saya yang saya panggil 'Mamak' untuk foto bareng sebelum saya pergi dan lain sebagainya. Perjalanan di Teknik Informatika berlanjut dengan mencari dosen-dosen untuk berpamitan. Namun sayang seribu sayang, dosen pembimbing 1 saya sedang repot dalam urusan ekivalensi tak enak rasanya mengganggu beliau, dosen pembimbing 2 berikut dosen wali S1 dan S2 saya sepertinya juga tak ada di tempat. Sedangkan beberapa dosen yang lain tidak sempat saya ganggu. Alhasil, karena panggilan teman sekampus untuk pergi berpamitan ke tempat les IFI semakin mengguncang, saya pun menyerah berjuang untuk sekedar bertatap muka dengan beliau-beliau yang dengan (sangat) sabar (sekali) memberi pengajaran berikut membimbing saya dalam kuliah (termasuk permintaan maaf kepada Bapak dan Ibu, saya sering tertidur di kelas). Tapi di tengah perjalanan naik tangga ke laboratorium, saya berpapasan dengan Pak Hari, mengajukan permohonan berpamitan. Teruntuk Bapak Ibu Dosen, sekali lagi saya berterima kasih dan meminta maaf atas segala kelakuan saya selama 4 tahun. 

Perjalanan berlanjut dengan pergi ke Mirota, ceritanya membeli blangkon untuk oleh-oleh untuk orang-orang Perancis untuk membantu saya. Setelah berputar-putar di dalamnya, eh ternyata blangkonnya ada di almari. Koleksi blangkon tersebut selayaknya sudah banyak, tapi tempatnya hanya 1 almari itu saja, jadi ya... begitulah. Perjalanan berlanjut ke pencarian wejangan dan berpamitan kepada guru-guru les Bahasa Perancis di IFI Surabaya. Bertemulah kami (Saya, Mega, Aziz, Mbak Inne) dengan guru-guru yang tidak kalah sabarnya menghadapi kami yang pecicilan dan menggemaskan selama periode Januari hingga Juni, ya kan Madame-Monsieur? Tersebut Madame Irma, Monsieur Karguna, Monsieur Tarsono, Monsieur Dedy, Madame Norma, memberi kami wejangan untuk hidup di Perancis. Uniknya, kata beliau-beliau ini, kami harusnya bahagia sudah akan berangkat ke Perancis, tapi beliau-beliau malah melihat roman muka kami yang demikian cemas, panik, takut, dan was-was. Yah, sesi nasihat dan menenangkan kami sudah beliau-beliau lakukan, tapi tidak mempan. Tak pelak, perpisahan itu pun terjadi, perjumpaan tentu ada perpisahan. Insya Allah kami semua, dengan izin Allah, akan membuat perjuangan ini indah.

Kepulangan saya dari tempat les diantar ribuan dering dari ponsel. Eh ternyata, sepupu saya yang tinggal di rumah mengingatkan saya untuk segera pulang. "Iya, habis magrib," jawabku. Meskipun ibadah di waktu magrib sudah kulakukan, saya tetap berkeliling Surabaya mencari obat-obatan yang perlu dibeli untuk bertahan hidup di musim dingin nantinya. Perjalanan pulang ini juga akan saya kenang untuk mungkin berkendara motor yang tidak akan saya nikmati selama setahun kemudian. Menikmati suasana magrib menjelang isya di Jemursari.

Di malam ketika sampai di rumah, saya pun beranjak untuk mengemasi barang-barang di ransel. Demikian hingga menitipkan barang yang tidak sempat saya beli ke sahabat-sahabat yang luar biasa "mbelani" menginap di rumah saya untuk mengantar kepergian saya. Terima kasih saudara selama 4 tahun, Fahmi dan Fadlika. Saya sebenarnya lupa-lupa ingat bagaimana kita bisa dipersatukan. Tapi, semoga petualangan kita tidak hanya berakhir sebagai kenalan, tapi juga sahabat.

5 September 2014

Dag-dig-dug keberangkatan dimulai, namun saya masih harus mencari barang penting satu lagi, apa itu? YAK namanya magic jar alias saudaranya penanak nasi. Setelah sarapan bersama sahabat, mempersiapkan ini itu sebelum berangkat, saya bersama Bapak dan Ibu pergi ke supermarket dekat rumah untuk menjemput magic jar itu. Sedemikian hingga, saya datang paling terlambat di antara rombongan. Sementara, di bandara sudah hadir beberapa makhluk yang menyambut keberangkatan kami, yakni rombongan teman-teman dari teknik sipil untuk Basshofi, kemudian, sanak saudara dari Mbak Hana, dan sanak keluarga dari Mega. Teman-teman saya? Nanti saja lah, check in dulu.

Keluar dari check in eh ternyata rombongan mentoring Mas Agil sudah datang, ada Mas Agil, Fahmi, dan Fahrudin, plus Fadli (yang di luar lingkaran). Lalu, foto kece dengan magic jar unyu yang baru saja dibeli. Lalu, beberapa menit kemudian, datanglah Ecci dan Emiria. Mereka ternyata sampai juga di sini. Lalu hadir pula rombongan trainer BREAKTHROUGH yang tiba-tiba membawa kenang-kenangan paling rempong, dengan hilangnya sang ketua Bintang entah di mana.
Ini kelompok mentoring, stay istiqomah
Left to Right: Iin, Amal, Saya, Iva, Fiona, Mumu -tanpa Tatang-


Left to Right: Emiria, Saya, Ecci

Setelah berpuas foto bareng, saya pun berangkat ke tanah rantau yang jauh itu. Mohon doa supaya kehidupan saya lancar di sana dan membawa manfaat. AAAMIIIN.
Semoga jadi perantau yang baik :P

Salam dari tengah kabut Compiègne, 23 September 2014.

Rabu, 17 September 2014

MONEV PKM (2013) yang Menguras Tenaga

Assalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh

Kembali lagi bersama penulis yang menumpuk hutang menulisnya. Ini pelunasan tulisan dari zaman sekitar setahun lalu lebih sekian bulan. Mohon maaf ya jika rasanya membuat penuh, tapi apa daya, momen hari dalam tulisan ini (bahkan) sangat memorable. Jadi ceritanya, kejadian-kejadian ini terjadi di pada 2 hari 1 malam di bulang Agustus 2013 yang mengambil tempat di kantor PT. Pertamina dekat Monas, kantor AirAsia, suatu ATM di jalan menuju pulang ke rumah Paman, Stasiun Gambir, kereta Bima, Stasiun Pasar Turi, Jurusan Teknik Informatika ITS, dan Grha Sepuluh Nopember ITS. Rasanya? Baca terlebih dahulu ya!

Suatu ketika, hari yang ditunggu-tunggu datang. Di tengah sibuknya menariknya pekerjaan Kerja Praktik (KP) saya, Adit, saya merencanakan untuk meninggalkan amanah KP saya sejenak untuk "sowan" ke ITS untuk memenuhi amanah saya yang lain: Monitoring dan Evaluasi PKM oleh DIKTI. H-2 keberangkatan sebenarnya saya sudah kontak teman saya yang menjadi agen perjalanan untuk pesan pesawat, biar cepat istilahnya. Namun, karena terlalu mepet, alhasil saya tidak bisa pesan tiket pesawat. Malah pesan tiket pulang terlebih dahulu (yang akhirnya tidak saya ambil karena terlalu lelah). Tapi, tragedi pesawat tidak berhenti sampai di situ.

Ketika KP sekaligus perencanaan H-1 keberangkatan, tim KP saya sebenarnya sudah menyelesaikan tugas. Namun demikian, saya masih usrek sendiri mengatur kepulangan ke Surabaya demi mengejar MONEV. Ditambah lagi harga tiket makin melonjak dan semakin tipis tempat duduknya. Berikut Maskapai AirAsia yang mengharuskan saya untuk bayar dengan kartu kredit, membuat saya semakin heboh telepon Mbak, Om, dan lain sebagainya. Berita hebohnya lagi, teman setim PKM yang juga sedang KP di Bogor sedang meluncur ke Jakarta untuk ikut pulang ke Surabaya. Sedangkan tiket kepulangan pesawat belum di dapat. Namun, semua kegilaan tersebut dilegakan sejenak ketika saya harus turun untuk salat Dzuhur. O ya keterangan lagi, saat itu sedang bulan Ramadhan, jadi di musala PT. Pertamina diadakan kajian Dzuhur. Alhamdulillah, cukup menyejukkan hati.

Ketika kajian selesai, saya masih punya harapan adanya kursi kosong di pesawat AirAsia yang berangkat esok pagi. Sekitar pukul 2, saya minta izin untuk pulang lebih awal kepada pembimbing untuk mengurus tiket keberangkatan ke Surabaya. Perjalanan dengan ojek dari kantor KP ke kantor Air Asia, mengambil uang, dan proses mengantre masih mulus, sih. Sampai tiba giliran saya...
"Mbak, pesan tiket dua kursi untuk penerbangan besok pagi masih ada?" tanyaku dengan mata berbinar-binar penuh harap. "Maaf Mas, tempat duduknya sudah habis," jawab si Mbak dengan senyum khas perusahaan.

JDER! Kejutan di siang bolong yang mewakili gerahnya Jakarta. Sedikit mendramatisasi, saya merasa hilang arah dan tujuan. Okelah, saya langsung pesan tiket pulang saja di sore hari MONEV ke Shidqi. Masih merasa bisa menjalankan amanah KP setelah pergi MONEV. Klik, OK, pesan singkat sudah terkirim ke nomor Shidqi. Dengan langkah lunglai dari bus TransJakarta ke halte yang memang seharusnya saya turun, saya pun masih bersemangat untuk cari ATM untuk melunasi pembayaran ke Shidqi. Setelah berjalan (kaki) cukup jauh dan menemukan mesin ATM, datanglah pesan singkat dari Luluk, sang partner perjalanan sekaligus ketua tim, yang memberitahukan posisinya sekarang dan menanyakan bagaimana nasib kita. Ya baiklah, semakin paniklah di perjalanan itu.

Dengan baterai hape yang semakin sekarat, saya berjalan lagi untuk pulang ke rumah Om. Di tengah keputusasaan yang menggelitik hati, saya ternyata bertemu pembantu di rumah Om yang memang berusaha mencari saya untuk dipulangkan... ke rumah Om. Maaf, ya Pak merepotkan. Alhasil dengan usaha dan upaya karena pulsa menipis juga, Luluk memberi inspirasi saya untuk mencari tiket kereta. Sesampainya di rumah Om, saya langsung cari informasi untuk keberangkatan kereta dari Jakarta dan kedatangan kereta ke Surabaya... yang berangkat MALAM ITU JUGA.

Oke, cukup cerah, ada tiket yang tersedia. Tapi, setelah shalat Magrib berjamaah di rumah Om, alias H-1 jam keberangkatan, entah keadaan semakin runyam. Pulsa habis, packing sekadarnya, bagaimana cara ke stasiun. Semua pikiran itu tertebus dengan solusi menggunakan telepon rumah Om saya dan pengantaran kilat dengan ojek dari rumah Om ke stasiun Gambir sekitar 30 menit sebelum keberangkatan. Berbekal uang untuk beli pulsa dari Om, akhirnya dengan tergesa-gesa dan berharap semuanya akan berjalan baik-baik saja saya mengucapkan salam akan jumpa lagi di hari berikutnya.

Kemacetan Jakarta? Iya, tantangan itu juga muncul ketika paket kilat dengan isi manusia itu dilaksanakan. Dengan napas terengah-engah, saya pun tiba di stasiun dengan (paling tidak) masih bisa lari untuk mencari Luluk dan mengejar jam keberangkatan kereta yang kalau tidak salah hanya tinggal 15 atau 20 menit saja. Beruntunglah, setelah pelarian yang tidak lama, saya bersua dengan Ibu Kepala Suku ini. Dengan air muka yang tidak kalah cemas dan khawatir, kami belanja sedikit bekal untuk kehidupan kami di kereta dengan perjalanan yang terjadwal sekitar 12 jam.

Sampai di dalam kereta, Alhamdulillah, kursinya cukup empuk dan dapat di posisi yang cukup nyaman. Shalat Isya di kereta, makan camilan, menonton Captain America dan Spy Kids 4 di kereta sepertinya adalah kegiatan yang mampu melepas gerah dan ber-hahahihi setelah kejadian-kejadian gila seharian. Sebenarnya kami berdua membawa amunisi buku, tapi apa daya, kami sudah tak sanggup berkonsentrasi di perjalanan untuk membacanya. Demikianlah petualangan berlalu lancar hingga matahari terbit menjelang.

Sebelum bercerita tentang saat sapaan mentari mencium keletihan kami, momen sahur dan salat subuh tidak berlalu cukup spesial. Jikalau ada yang dikatakan spesial itu cukup roti dan minum, dilanjutkan tidur sejenak hingga tiba waktu subuh. Dan cling, sang surya menampakkan rona jingga di balik pemandangan gunung-hutan-sawah-dan-berulang yang tampak di jendela. Diskusi sejenak kami berujung pada kepanikan berikutnya mengenai jadwal presentasi yang seharusnya berlangsung pagi ini dan kami tak kunjung tiba di stasiun Pasar Turi. Tapi, saya dengan sangat masuk akal mengurungkan pikiran untuk bertanya ke masinis, "Pak, apa keretanya tidak bisa lebih cepat?"

Perginya inspirasi tidak masuk akal tersebut diiringi dengan pesan singkat dari ayah saya mengenai di mana posisi saya dan nanti dijemput siapa. Dengan sangat pasrah, kutulis pesan yang menjelaskan posisi masih di kereta dan dijemput teman ke ITS dulu karena tidak mungkin pulang ke rumah kepada ayah. Semenarik itulah kepasrahan kami hingga kami berpesan singkat lagi ke tim PKM kami... yang sepertinya tidur kelelahan habis sahur di pagi itu karena juga sudah berusaha keras. Harapan kami, bisa diusulkan pemunduran jadwal. Dan syukur Alhamdulillah, cukup lama kemudian, kami yang di kereta mendapat kabar bahwa ternyata jadwal presentasi MONEV DIKTI bisa (diatur untuk) maju kapan saja asalkan hari itu. Saya dan Luluk pun bisa bernafas sedikit lebih panjang, karena masih merasa tak sanggup meratapi hal apa lagi yang akan terjadi di hari itu.

Tiba di stasiun Pasar Turi setelah terlambat sekian jam, menit? Entah saya sudah lupa, pada intinya terlambat. Kami masih berusaha mengukur seberapa panjang nafas kami hingga tiba untuk presentasi di ITS dan kembali KP ke Jakarta dan Bogor di malam harinya. Sedikit dramatis lagi, perjuangan menunggu kami ditambah dengan menghalau tukang taksi dan becak yang menawarkan jasa pengantaran (apa sih). Penantian berakhir ketika Ika dan Mas Dedy, para penjemput kami ke ITS datang. Terima kasih banyak Budhe Tutik dan Mas Pilaaay (yang ponselnya dipinjam Mas Andre untuk sidang Tugas Akhir).

Sampai di ITS, saya merasa muka saya tidak berupa muka sehat lagi setelah semua kejadian hari sebelumnya dan korban terlambat kereta api. Dengan berucap sesedikit mungkin ke para penghuni laboratorium IBS, markas pengerjaan PKM kami, saya melangkahkan kaki yang berat untuk menyambut gayung air menyegarkan rupa sejenak. Untunglah, kaki saya bisa beristirahat sementara di bawah meja, dan berganti tangan yang (masih harus) bekerja di berkas laporan akhir.

Beberapa menit sebelum salat Asar (kalau tidak salah, harap dikoreksi ya Luluk, Dany, Awal, atau Helmy), kami pun maju ke juri DIKTI yang berasal dari UGM. Berita buruknya, proyek PKM kami yang bernama INGGIL, dikomentari habis-habisan karena bahasa krama yang bahasa kerennya improper atau tidak cocok dengan bahasa krama alus yang seharusnya. Kami langsung berkesimpulan, durian runtuh itu jatuh, tepat di perasaan kami, sakitnya menusuk-nusuk karena malu dan mati gaya.

Tapi apa boleh buat, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Kami tetap bersyukur dengan semua yang terjadi. Sebenarnya dan seharusnya, saya dan Luluk harus segera pergi ke bandara saat itu juga untuk check-in. Tapi setelah semua kejadian hari itu (dan hari sebelumnya), kami memutuskan untuk menghanguskan tiket tersebut dan beristirahat total fisik dan mental hingga hari ahad. Oya, momen kembali ke Jakarta tersebut adalah momen naik pesawat pertama kali oleh Luluk dan ketika itu juga, saya bertemu Hani Rosdahlia.

Akhir kata, saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat di MONEV PKM ini. Kalian memang luar biasa! Teruntuk Ibu Kepala Suku Luluk Eko Mawati, Latifa Nurrachma Pradany, Awalia Harfiani, Helmy Satria Martha Putra, kalian memang TOP banget!

Terima kasih atas momen yang luar biasa, memang kita tidak maju PIMNAS 26, tapi saya merasa perjuangan ini layak untuk diceritakan dan dikenang. Karena saya merasa kita berjuang demi Allah Ta'aala, dan Insya Allah tidak ada yang sia-sia serta selalu hikmah yang bisa diambil. Ada kawan di samping kita yang membuat tersenyum, kehangatan keluarga kita yang menerima kita apa adanya, serta perjuangan yang tidak akan habis jika dikenang.

Sekian tulisan saya, semoga bermanfaat. Maafkan jika ada salah kata atau ingatan.
Wassalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh.

Selasa, 16 September 2014

Sakura Day 3 (REAL DAY, REAL DEAL) Bagian 1 dari 2



Assalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh…

Maaf sudah sekian lama vakuum, hari-hari itu saya gunakan untuk mengurus ini itu sebelum keberangkatan ke negeri keju, Perancis. Meskipun tulisan ini saya tulis di negeri bendera kombinasi warna merah-putih-biru, semoga ingatan saya masih hangat-hangat suam-suam kuku.

Hari ketiga SAKURA EXCHANGE adalah hari pertama yang sebenarnya. Hari ini kami serombongan bersepuluh (Masih ingat tidak? Saya, Mbak Lely, Dewie, Elok, Zendy, Mia, Rizqi, Leo, Vidi, Anton) plus Bu Maria harus pergi ke Kumamoto University untuk «tur» sejenak sebelum kunjungan ke laboratorium esok harinya. Beberapa hari sebelumnya adalah hari santai (tidak juga sih), sebelum menyambut hari ini yang ditunggu-tunggu.

Pagi hari berlangsung dengan tenang bersama sarapan dan dandan kece sesuai instruksi Bu Maria malam sebelumnya. Dandan kece? Para pria berkemeja lengan panjang dan berdasi, para gadis berkemeja juga dengan blazer yang sedap dilihat. Ke-kece-an ini ditambah dengan pin AMBASSADOR yang tersemat (tertancap, untuk Zendy, karena salah satu penitinya hilang) di kemeja masing-masing. Sarapan sudah, berkas penting sudah, oke sip. Berangkatlah kami ke halte bus dan jalur terdekat dari Toyoko-Inn ke Kumamoto University. Pukul 08.30 lebih sedikit kami menunggu dengan kece (tetep dong) dan berfoto walau suasana becek-becek sumuk karena habis hujan tapi musim panas. Sesi foto berakhir dengan kedatangan bus yang kami sangat hati-hati sekali membaca karakter Jepangnya… karena karakternya mirip dan kami hanya bisa baca angka saja… sekadarnya. Dan tepat waktu, pukul 08-sekian bus-nya datang, Jepang lho.

Di bus, tetap menyenangkan, seperti perjalanan bus sebelumnya di Mt. Aso, teknologi penukar-uang-otomatis-sehingga-tidak-perlu-pakai-kembalian-dan-cari-uang-kecil tetap ada. Teknologi transportasi mandiri yang seperti ini memang menyenangkan dan menakjubkan. Namun, di tengah nikmat perjalanan, Bu Maria mengingatkan sesuatu… “Elok, suvenir untuk ke Kumamoto sudah dibawa?”. Wajah pucat Indonesia beriringan mewarnai seisi bus. Berdasarkan musyawarah kilat dibumbui kecemasan masing-masing. Diputuskan Elok dan Rizqi akan naik bus lagi di halte Kumamoto University untuk mengambil suvenir di Toyoko Inn.

Sesudah turun dari bus, kepanikan masih terasa di tengah berisiknya suara serangga musim panas di Jepang. Dibantu oleh petunjuk arah bus oleh Mbak Sary yang menyambut kami (maaf ya, Mbak baru melihat wajah-wajah kami sudah diberi suguhan peristiwa panik). Alhasil, formasi kami terpisah dan 9 orang ini (termasuk Bu Maria tentu saja) mencari jalan ke ruang rapat C gedung Graduate School of Science and Technology untuk pertemuan dengan Pak Prof Usagawa dan Bu Kishida. Teriknya mentari dan cakap-cakap ringan (kalau saya mah pendiam, saudara-saudari semua harus mengakui itu) masih mengiringi langkah gontai kami. Langkah indah yang dimotivasi harapan kembalinya Elok dan Rizqi dengan tepat waktu... dan selamat.

Materi presentasi dan buku mengenai Graduate School of Science and Technology
Suasana presentasi

Bu Kishida, semoga kita bertemu lagi ya di ICAST, Perancis...
Ini Pak Prof menerima kenang-kenangan yang fantastis

Di ruang rapat itu, Pak Prof menunggu kami dan asyik dengan laptop beliau. Tidak heran mengingat Pak Prof bisa membalas surel di Myanmar atau entah di mana pun itu dengan secepat dan semampu mungkin. Dan saya pun bisa menyimpulkan tipisnya perbedaan etos kerja yang tinggi dan sikap workaholic, untuk kasus ini, saya putuskan mengklasifikasikan perilaku orang-orang Jepang ini adalah representasi dari etos kerja yang tinggi. Selagi bercakap ringan dan membaca katalog universitas di tengah hening yang menyesakkan akibat aksi menunggu Elok dan Rizqi di ruang rapat itu, musyawarah yang lagi-lagi kilat dilakukan untuk memulai presentasi sekilas mengenai kota Kumamoto dan negeri Jepang.


Dari presentasi Pak Prof, di samping indahnya alam kota Kumamoto dan Jepang, terlihat betapa kuatnya relasi dan kerjasama riset antara industri dan universitas-universitas yang ada di Jepang. Selain itu, perusahaan-perusahaan Jepang, di berbagai bidang, termasuk sipil, telekomunikasi, otomotif, memiliki keutamaan bidang risetnya yang unggul. Saya pun berandai-andai mengapa perusahaan-perusahaan di Indonesia tidak memiliki basis riset yang demikian tenar. Namun, kerisauan itu terjawab dengan sebersit pikiran saya (CMIIW lho ya) mengenai konsumerisme bangsa Indonesia dan kelasnya yang merupakan target pasar dan silang perdagangan. Seketika itu pula, pikiran saya melayang juga ke cita-cita mendirikan lab riset mandiri, baik di bidang perilaku sosial maupun teknologi dan sains, di Indonesia (mungkinkah? Jika Allah mengizinkan, Insya Allah. Aamiin-in dong).

Sejumput angan saya tiba-tiba pecah karena langkah kaki yang terdengar dari luar ruang rapat. Alhamdulillah, Elok dan Rizqi bisa tiba dengan selamat. Semua berkat arahan Mbak Sary dan mobile wifi milik Pak Prof yang dipinjamkan ke kami. Presentasi yang selanjutnya menghadirkan Bu Kishida dimulai begitu saja, dengan sedikit sambutan tentunya.

Sajian pengantar mengenai studi lanjut pascasarjana dan doktoral di Kumamoto University menjadi pengantar mimpi indah bagi kami sebelum menuju kunjungan laboratorium. Kemudian dihadirkan para mahasiswa Kumamoto yang berasal dari Indonesia, ada yang dari ITS (Halo Pak Darlis), dari ITB, dan lain sebagainya. Sejenak setelah itu, kami diajak untuk makan siang di kantin. Dan setibanya di sana, kantinnya ramai sekali meskipun katanya musim ujian.



Mari makaaaan, Bismillahirrahmaanirrahiim

Bagi umat muslim, bagaimana menghindari makanan haram di kantin universitas? Anda harus memicingkan mata seteliti-telitinya melihat gambar bundar berwarna-warni yang menunjukkan bahan perdagingan. Ada warna biru untuk ikan, oranye untuk ayam, (lupa warna apa) untuk sapi, dan merah jambu untuk babi. Sehingga, waspadalah! (kata Bang Napi). Ketika makan siang bersama mahasiswa Indonesia yang ada di Kumamoto, kami bercerita banyak, mulai dari di mana restoran sushi, di mana toko murah meriah, dan lain sebagainya. Sampai waktunya untuk shalat Dzuhur, kami yang muslim pun beranjak pergi.

Beruntunglah, jarak untuk pergi ke masjid (iya, di sana ada masjid) kedua di pulau Kyushu (Kumamoto ada di pulau Kyushu, kalau Tokyo dan lainnya ada di pulau Honshu) tidak terlalu jauh, bisa ditempuh dengan jalan kaki sekitar 5-10 menit. Yang menarik adalah, masjid ini dinamakan Kumamoto Islamic Center (KIC), yang berarti tempat ini adalah pusat kegiatan muslim di kota ini. Para penggiatnya tidak hanya dari Indonesia, ada juga beberapa mahasiswa dari Pakistan, Malaysia, dan mahasiswa muslim internasional maupun muallaf lainnya dari Jepang (kalau ada sih, belum tanya) yang kuliah di Kumamoto University. 




 

....bersambung....

Setelah ini, berlanjut ke petualangan hari ketiga bagian kedua (karena panjang), mohon tetap terjaga di sini ya :) Semoga bermanfaat.

Wassalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh.