“Waaaaah, kita sudah sampai di
Indonesia, Yah, Ibu!” sahut Nina dengan riang. Hamparan aspal luas
dan rerumputan hijau yang rata menyambut pendaratan burung besi yang
ditumpanginya. Jajaran huruf “SOEKARNO HATTA” turut mengiringi
arah pandangan Nina. Di dalam pesawat, Nina duduk di samping jendela.
Posisi ini didapatnya setelah bertukar tempat duduk dengan sang Ayah.
Tidak lama kemudian, kakak pramugari manis membantu rombongan kecil
itu turun dari pesawat. Yah, akhirnya kakak pramugari itu berhasil
menenangkan tingkah gadis 8 tahun itu. Nina tampaknya sedikit terlalu
bersemangat sampai di Indonesia.
Ayah
Nina dengan sigap mengambil koper yang disimpan di rak di atas tempat
duduk mereka. Ayah Nina berperawakan tinggi tetapi tidak terlalu
besar, tidak kurus dan juga tidak terlalu gendut. Rambut Ayah Nina
sudah mulai menipis namun masih sering dimainkan Nina. Sedangkan, Ibu
Nina sendiri adalah seorang wanita cantik dengan rambut hitam panjang
tergerai dengan garis wajah keibuan yang kentara di pipinya. Tinggi
Ibu Nina hanya sekitar berbeda 5 sentimeter dengan Ayah Nina. Nina,
buah hati mereka, tingginya mencapai sepinggang Ibunya lebih sedikit.
Mata Nina terlihat besar dengan lesung pipit dan pipinya yang tembem.
Mereka bergantian menyalurkan bawaan mereka dan berjalan di antara
kursi-kursi pesawat menuju pintu keluar.
Tidak lama, jejak langkah
keluarga kecil tersebut menjauh dari pesawat. Lalu, Nina menoleh lagi
ke belakang. Senyum si pramugari terlihat semakin kecil dari lambaian
tangan Nina. Tatkala tiba di gedung bandar udara, tiga pasang kaki
itu langsung menuju arah imigrasi dengan paspor Indonesia. Selesai
urusan di imigrasi, mereka pun dinyatakan sebagai orang yang resmi
kembali pulang di tanah air. Mereka semua siap menjalani hidup baru
di Indonesia setelah banyak kenangan indah yang terjadi selama 3
tahun di negeri Heksagon, Prancis.
***
“Nina?
Nanti malam mau Ibu masakkan apa?” tanya Ibu Nina kepada Nina.
“Mmmmmm,
Nina mau makan rawon boleh, Bu?” jawab Nina.
“Eh,
jangan Bu. Kemarin sudah soto, jangan masakan Indonesia lagi. Nanti
bumbunya cepat habis,” tiba-tiba ralat Nina dengan cepat. “Sup
ayam saja, Bu.”
“Oke,
Ayah juga mau, kan ya?” Tanya Ibu Nina kepada Ayah Nina.
“Apapun
yang Ibu masak, ayah pasti akan makan!” Sahut Ayah Nina
bersemangat.
Pembicaraan pagi hari di sudut
apartemen kecil itu mewarnai kehidupan keluarga kecil itu selama 3
tahun. Topiknya pun beragam, mulai dari menu makan malam, kegiatan
Ibu di siang hari, pelajaran Nina hari itu, rencana liburan ke luar
kota, kehebohan persiapan sidang penentuan kelulusan sang Ayah dari
studi doktoralnya, sampai rencana kepindahan keluarga kecil itu ke
Indonesia. Bagi keluarga tersebut, kesederhanaan dialog pagi tersebut
mengalahkan kemegahan menara Eiffel. Meskipun menara Eiffel bisa
mereka lihat setiap hari ketika naik bus menuju sekolah Nina atau
menuju kampus Ayah.
Ketika
baru saja tiba di Prancis, memang semua tidak berjalan lancar. Nina
merengek minta pulang tidak ada habisnya saat mendapati di Prancis
tidak ada nasi. Untungnya, perkara nasi ini baru terselesaikan ketika
Ibu Nina menemukan toko yang menjual beras kiloan seminggu kemudian.
Di kemudian hari, tangisan Nina
semakin menjadi ketika Nina mengamuk meminta nogosari2,
cemilan favoritnya.
Tentu saja makanan khas Indonesia itu hampir tidak bisa ditemukan di
Prancis, kecuali dibuat sendiri. Alhasil, dengan susah payah, Ibu dan
Ayah Nina berhasil membuat nogosari
ala kadarnya di akhir minggu. Bisa dibilang prestasi Ibu dan Ayah
Nina dalam membuat nogosari
cukup membanggakan.
Meskipun nogosari
buatan sendiri itu berbungkus kertas aluminium, beradonan tepung
beras terlalu lembek di sana-sini, dan berpisang tidak sama dengan
yang di Indonesia, Nina akhirnya maklum dengan usaha orang tuanya
itu.
“Enak
kok, Ayah, Ibu! Nina suka! Kapan-kapan buat lemper3
ya!” kata Nina.
Kedua orang tua Nina hanya saling menatap dan menghela napas panjang.
***
Seminggu
setelah tiba di Indonesia, saatnya Nina masuk sekolah sebagai murid
kelas 3 SD. Masuk SD bukan merupakan hal sulit bagi Nina karena
berbagai hal merepotkan sudah diurus oleh Ibu Nina di Prancis dan
Paman Egi di Indonesia. Mereka percaya usaha mereka akan membuahkan
hasil. Dan akhirnya, Nina dinyatakan secara resmi masuk ke SD Swasta
yang hanya berjarak 1 kilometer dari rumahnya.
Sehari
sebelum berangkat sekolah, Ibu Nina memeriksa jadwal pelajaran Nina
untuk hari pertama sekolah. Bahasa Indonesia 2 jam pelajaran,
Matematika 1 jam pelajaran, istirahat, dan, Agama 2 jam pelajaran.
Dalam pikiran Ibu Nina, Bahasa Indonesia sepertinya tidak ada
masalah, mungkin hanya perbedaan pelafalan huruf “R” dan
mengikuti pelajaran sedikit. Di Prancis, Ibu Nina juga sudah banyak
mengajarkan cara membaca dan membentuk kalimat untuk Nina. Matematika
juga seharusnya Nina sangat cerdas menghitung, pikir Ibu Nina.
“Hmmmm….
Agama Islam ya?” ucap Ibu Nina lirih. “Nina, ke sini sebentar,
Nak!” sahut Ibu Nina.
“Iya,
Bu?” Tanya Nina ketika bergegas masuk ke kamarnya.
“Nina,
besok kan ada pelajaran Agama Islam. Di sekolah Nina yang lama kan
tidak ada,” ujar Ibu. “Nina, dengarkan pesan Ibu untuk besok,
ya.”
“He
em,” angguk Nina.
“Nina,
besok bawa kerudung untuk pelajaran Agama Islam, dipakainya ya ketika
pelajaran Agama Islam. Lalu, jika ada yang Nina tidak tahu, ditulis
dulu di kertas untuk ditanyakan ke guru Agama Islam. Ditanyakannya
nanti saja, ketika pelajaran selesai, datang ke gurunya. Kan
Agama Islam juga jam
terakhir, jadi bisa saat pulang. Jika Nina ditanyai guru tentang
sesuatu yang Nina tidak tahu atau belum pelajari, bilang saja ‘Maaf
Bapak atau Ibu, saya belum belajar mengenai hal itu’. Mengerti?”
ucap Ibu Nina menjelaskan panjang.
“Hm,
iya, Bu. Nina mengerti. Besok Nina lakukan, Bu,” angguk Nina lagi.
“Sip,
Nak. Besok ketika pulang cerita ke Ibu ya, bagaimana sekolahnya,”
pinta sang Ibu.
“Siap,
Bu!” sahut Nina bersemangat. “Nina boleh pergi lagi?”
“Iya,
main lagi, ya!”
Ibu
Nina merasa lega Nina paham dengan pesannya. Nina pun juga tidak
kalah berdebar-debar menghadapi esok hari. Apakah Nina akan memiliki
teman-teman yang baik, apakah gurunya juga baik, apakah makanannya
enak. Semua misteri itu akan terjawab esok harinya.
***
Hari
itu, Nina mengenakan baju putih-merah ketika tiba di sekolah. Namun,
pola dari baju Nina sedikit berbeda dengan anak-anak sebayanya di
sekolah itu. Rasa kurang percaya diri muncul di diri Nina. Tetapi,
setelah melihat senyum ibunya, Nina merasa semuanya akan baik-baik
saja.
Sebelum
masuk kelas, Nina diantarkan ibunya ke ruang tata usaha dan
dikenalkan dengan beberapa guru, termasuk wali kelasnya, Bu Ratih. Bu
Ratih kemudian mengantarkan Nina ke ruang kelasnya di lantai dua. Bu
Ratih sedikit menerangkan ke Nina bahwa muridnya ada 23 anak.
Ditambah Nina, akan menjadi 24 anak. Dan, perkenalan pun dimulai.
“Selamat
Pagi, perkenalkan nama saya Nina Prayogi. Saya biasa dipanggil Nina,”
begitulah pengumuman Nina di depan kelas dengan logat yang kaku dan
berbeda.
“Halo
Nina!” Ujar seisi kelas.
“Nina,
kamu duduk di sebelah Risa, ya!” Kata Bu Ratih sambil menunjuk
bangku kosong di sebelah anak berkerudung.
Nina berjalan ke arah bangku
tersebut sambil menenteng tasnya. Tiba-tiba dia diajak bicara oleh
Risa.
“Halo,
Nina, aku Risa,” kata Risa tersenyum untuk membuka pembicaraan.
“Halo,
Risa. Saya Nina,” balas Nina sambil tersenyum pula.
Selepas
itu, Bu Ratih menjelaskan bahwa Nina adalah pindahan dari Prancis.
Prancis adalah negara yang berkilo-kilometer jauhnya dari sekolah
itu. Prancis terkenal karena keju dan menara Eiffel, serta roti
panjang yang dikenal dengan nama baguette.
Riuh terdengar dari ruang kelas itu. Banyak yang penasaran bagaimana
Prancis, dan begitu juga mengenai Nina.
Pelajaran
Bahasa Indonesia, Matematika, dan jam istirahat berakhir begitu saja.
Nina berhasil mengikuti pelajaran dengan lancar walau tertinggal
beberapa minggu. Meskipun Nina tidak mengetahui beberapa kata-kata
dalam Bahasa Indonesia ketika mengerjakan soal, untunglah Risa baik
hati membantu Nina untuk memahami kata-kata tersebut. Risa berusaha
untuk menjelaskan dengan bantuan bahasa isyarat dan gerakan tubuh.
Tiba
saatnya pelajaran Agama. Nina sebenarnya agak takut mengenai
pelajaran ini, karena ini pelajaran agama Nina pertama kalinya.
Terhitung sekitar 10 anak meninggalkan kelas. Anak-anak ini
meninggalkan kelas karena beragama selain Islam. Sedangkan, siswa
lainnya bersiap untuk pelajaran Agama Islam. Anak laki-laki
mengenakan peci dan yang perempuan mengenakan kerudung, kecuali yang
sudah berkerudung seperti Risa. Tidak sampai dua menit, sesosok
wanita pendek berkacamata namun dengan paras lembut memasuki ruang
kelas Nina.
“Assalamu’alaykum
warahmatullahi wabarakatuh, anak-anak!” sapa orang itu.
“Wa’alaykum
salam warahmatullahi wabarakatuh, Bu Izzah!” balas seluruh kelas,
kecuali Nina yang hanya bisa menyebut salam tanpa sapaan.
“Wah,
kita sepertinya punya murid baru. Perkenalkan diri dulu ya ke Bu
Izzah, silakan, Nak!” kata Bu Izzah menunjuk dirinya dan setelah
itu menghampiri Nina.
Nina menatap Bu Izzah dengan perasaan yang agak grogi. Nina merasa
sedikit canggung dengan kerudung Bu Izzah ini. Bu Izzah ini sangat
terlihat lembut dan sabar. Tetapi, Nina berusaha membuka mulut.
“Bonj…
Eh, halo, Bu Izzah. Nama saya Pra… eh Nina. Nina Prayogi,” kata
Nina terbata-bata.
“Wah,
namanya Nina, ya. Nama saya Izzah. Nur Faizzah. Selamat datang, kalau
ada yang tidak tahu, tanyakan ke Ibu ya?” kata Bu Izzah.
“Iya,
Bu,” kata Nina.
***
“Anak-anak,
sebelum kita mulai pelajaran. Ayo, kita ulang dulu rukun islam dan
rukun iman! Mulai dari Yahya sampai ke Indah!” Kata Bu Izzah
menunjuk anak dari ujung belakang kanan hingga ujung depan kiri. “Ya,
Yahya! Rukun islam pertama!”
“Syahadat,
Bu!” Jawab Yahya berdiri, kemudian duduk.
“Kedua,
salat!” Jawab anak selanjutnya.
Jawaban-jawaban
bermunculan terus hingga giliran Nina, yang mendapatkan jatah
menjawab rukun iman keempat. Keringat Nina bercucuran. Rukun iman dan
islam tidak pernah diketahui oleh Nina sebelumnya. Baik ibu maupun
ayahnya belum pernah memberitahunya ketika di Prancis. Atau mungkin
pernah, tetapi Nina lupa karena terlalu grogi. Ingatan mengenai
kegiatan belajar mengaji di kedutaan besar di Paris tidak membantunya
pula. Kalau mengaji, bolehlah kemampuan Nina diadu.
Risa sebenarnya melihat
ketegangan Nina. Risa mengisyaratkan sesuatu. Namun, terlambat,
giliran Nina sudah sampai terlebih dahulu sehingga Nina. Nina pun
berdiri.
“Ehm…
Mmmm… iman kepada… kepada…,” Nina pun tertunduk malu. “Emm,
Bu Izzah. Maaf, saya be… belum pernah belajar rukun iman.”
Nina
melaksanakan pesan ibunya di hari sebelumnya. Terdengar suara tawa
anak-anak di dalam kelas. Mungkin tidak semua. Ada yang dengan nada
sedikit merendahkan. Juga terdengar sayup-sayup entah dari mana dan
siapa, “Wah, rukun islam dan rukun iman yang mudah itu saja tidak
bisa. Aku sejak TK saja bisa.”
Nina
kembali duduk setelah itu, tertunduk. Risa mengerti apa yang dihadapi
teman barunya. Kemudian, dia menepuk punggung Nina. Lalu, Risa
berkata, “Sabar ya. Teman-teman tidak serius, kok. Sabar, ya.”
“Iya,
Ris-Risa. Ti.. Tidak apa-apa kok,” suara Nina agak bergetar.
Bu
Izzah memandangi Nina dengan tatapan penuh pengertian. Nina tidak
sadar akan hal itu. Bu Izzah lalu meminta Risa menjawab jatah
pertanyaan Nina dan untuk Risa sendiri setelah menghibur Nina.
Risa kemudian berdiri dan
menjawab, “Rukun iman keempat, Iman kepada Rasul. Kelima, Iman
kepada Hari Kiamat.”
Risa kembali duduk. Pelajaran
Agama Islam berlanjut ke sifat-sifat wajib Allah. Nina sudah kembali
siap menerima pelajaran. Dalam pelajaran ini dibahas hanya lima.
Mendengar hal ini, banyak hal muncul dalam benak Nina. Nina
menuliskan semua pertanyaan yang terpikirkan ke atas kertas untuk
ditanyakan nanti ke Bu Izzah.
“Krrrrriiiiiiiing,” bel
sekolah tanda akhir pelajaran berbunyi. Itu tandanya pulang sekolah.
Lima menit sebelumnya Ibu Nina sudah datang ke sekolah untuk
menjemput Nina. Ibu Nina menunggu di depan pintu sekolah.
Risa dan anak-anak lain sudah
mengemasi tas sekolahnya dan beranjak pergi. Nina sengaja
mengakhirkan kepulangannya untuk menanyakan banyak hal ke Bu Izzah.
Bu Izzah juga berniat sama. Bu Izzah ingin mengajak Nina berbicara
lebih banyak mengenai pengalaman bersekolah di Prancis.
“Bu Izzah…”,“Nina...,”
ucap Nina dan Bu Izzah bersamaan.
“Baik, Nina dulu ya?” Tanya
Bu Izzah.
“Iya Bu. Sebelumnya maaf, Bu.
Tadi saya tidak bisa menjawab pertanyaan Ibu.”
“Tidak apa-apa. Ibu maklum kok.
Ibu juga mohon maaf menanyakan hal yang mungkin belum Nina ketahui.”
“Iya Bu, saya ingin tahu rukun
iman dan rukun islam.”
“Iya, Ibu terangkan dulu ya.
Rukun Iman itu ada 6. Yang pertama, iman kepada Allah. Kedua, iman
kepada malaikat. Ketiga, iman kepada Al-Quran. Keempat, iman kepada
rasul. Kelima, iman kepada hari kiamat. Keenam, iman kepada qadha’
dan qadar. Nina paham?”
“Iya, Bu. Boleh lanjut lagi?”
Sebenarnya, muncul
pertanyaan-pertanyaan baru di benak Nina. Hal itu juga dicatat dalam
kertas catatan Nina. Lalu, langsung ditanyakan setelah Bu Izzah
selesai menerangkan rukun islam. Pembicaraan terbuka mulai dari apa
arti iman, islam itu apa, dan tak terasa sudah berlalu 30 menit.
Ibu Nina yang ingin tahu mengapa
Nina sangat lama berada di kelas segera masuk ke dalam gedung
sekolah. Mula-mula, Ibu Nina mengganti sepatu dengan sandal yang
disediakan untuk berkeliling di sekolah di penitipan sepatu. Lalu,
Ibu Nina berjalan ke ruang kelas Nina di lantai dua. Ibu Nina pun
melihat Nina sedang berkerudung dan bercakap-cakap ke seorang guru di
meja guru. Ibu Nina merasa pembicaraan Nina sangat asyik. Dan Ibu
Nina melangkahkan kaki ke dalam kelas dan mengucap,
“Assalamu’alaykum.”
Salam
Ibu Nina dibalas oleh Bu Izzah dan Nina. Ibu Nina mengajak Nina
pulang karena sudah terlalu siang. Bu Izzah memohon maaf kepada Ibu
Nina dan memperkenalkan diri ke Ibu Nina. Bu Izzah menjelaskan kepada
Ibu Nina apa yang mereka sedang diskusikan dan bagaimana tingkah Nina
ketika di dalam kelas. Ibu Nina mengangguk-angguk. Tidak lama
kemudian, mereka berpisah.
“Bagaimana
tadi sekolahnya, Nina?” Tanya Ibu Nina ke Nina.
“Asyik
sekali, Bu! Nina punya teman baru, dan gurunya baik-baik!” jawab
Nina selagi mereka menuruni tangga.
Ibu
Nina mengembalikan sandal sekolah ke penitipan barang dan mengganti
alas kaki ke sepatu lagi. Sedangkan Nina, mengganti sepatu ke lemari
yang khusus disiapkan untuk penitipan sepatu bagi para murid. Nina
mendapati ada surat di dalamnya.
“Nina,
maafkan kami ya. Kami tadi mengejek kamu. Risa tadi memberitahu kami
kalau kamu di Prancis tidak belajar agama islam seperti kami. Besok
kamu mau main ke rumah Indah tidak sepulang sekolah?” tertulis
demikian dalam surat yang diselipkan di bawah sepatu Nina.
Nina
pun tersenyum. Banyak hal yang terjadi selama hanya satu hari di
sekolah barunya. Mulai dari teman baru, guru-guru yang menyenangkan,
terutama kembali ke kue-kue yang Nina senangi. Belum lagi hal baru
yang belum atau jarang Nina pelajari sebelumnya, agama islam. Menurut
Nina, hidup barunya ini akan lebih menyenangkan lagi daripada di
Prancis. Semoga semuanya akan baik-baik saja, pikir Nina.
“Nina,
ayo pulang!” panggil sang Ibu dari ujung pintu.
“Iya,
Bu!” jawab Nina sambil berlari kecil ke arah pintu sekolah.
Begitulah
kedua pasang langkah kaki itu meninggalkan sekolah baru Nina.
Keluarga kecil itu akan mendapat banyak hal yang mewarnai hidup baru
mereka. Berbeda dengan 3 tahun sebelumnya, sebelum berangkat ke
Prancis dan di Prancis. Perbedaan pengetahuan dan pengalaman Nina
malah membuat semua hal yang dihadapinya di Indonesia menyenangkan.
Begitulah hidup baru Nina. Au
révoir!
1Bahasa
Prancis, terjemahan: “Terima kasih! Sampai jumpa, Nyonya!”
2Kue
tradisional khas Indonesia yang berupa kukusan adonan tepung beras
yang berisi pisang dan dibungkus daun pisang
3Kue
tradisional khas Indonesia yang berupa kukusan beras ketan berbentuk
kotak yang biasanya berisi daging
0 komentar:
Posting Komentar