Telepon
Tapi, dalam hari-hariku
duduk di atas meja semakin sepi saja.
Dulu sih, semua masih nyaman
duduk berlama-lama menempelkan gagangku di telinganya. Malah ada yang
bersila, berjalan mondar-mandir, bergulung-gulung atau apa pun lah
istilahnya kata para tuanku. Katanya aku sering dipakai pacaran lah,
dipakai mesra apalah. Selain itu, dulu aku juga malah kayaknya sempat
pakai baju lucu-lucu, ada bonekanya, ada motifnya, eh malah cerita
dandanan kan? Oh ya, pernah juga sempat dengar berita, ada telepon
yang bertetangga sama teman-teman telepon lain, tapi hanya dibatasi
bilik-bilik kaca begitu. Lucu kan? (Maaf, aku mendadak narsis).

Lalu, selagi pertukaran
kata dari tuanku di seberang sana berlangsung. Aku mendengar
sayup-sayup temanku yang lain. Teman? Iya, maksudku alat komunikasi.
Oh itu, iya si speaker, lazimnya sih namanya pengeras suara.
Tapi, tuanku sering menyebutnya speaker, dalam bahasa Inggris.
Anggap saja nama gaul zaman sekarang.
Dia saja sedang
bersuara begitu bersemangatnya, entah diboncengi menangis. Sempat aku
dengar kabar mengenai speaker itu dari teman-teman telepon lain yang
pernah tersambung denganku. Dia tinggalnya di sudut-sudut strategis
kubah atau gedung, melantangkan nyaringnya untuk tuan-tuannya. Iya,
tuannya banyak, tidak seperti aku. Atau sanak familiku, dari generasi
kakek pager sampai adik telepon genggam yang memanggil cukup
satu tuan.
Dan hal yang mungkin
tak sama dengan kami, yaitu nasib si speaker . Meski sama-sama
dalam keluarga alat komunikasi. Tugasnya berat sekali, mungkin
seringkali dianggap gagal. Kalau tugas sanak familiku, dari kakek
pager, sampai adik telepon genggam, tugasnya ya cuma memanggil
satu tuan dalam satu waktu. Nah, dia? Lima kali sehari, memanggil
banyak orang, sampai sekomplek gedung kalau tidak salah aku pernah
dapat kabar. Yang langsung menghampiri, ya mungkin segelintir, tidak
seperti tuanku yang langsung secepat kilat menyambarku. Berhasil
nggak sih? Ya, pokoknya saya merasa kasihan dengan speaker.
Sepiku yang saya rasakan mungkin tidak sama dengan sepinya.
Eh, rasa-rasanya
sebentar lagi tuanku hendak menghentikan percakapannya. Sepertinya
mendengar koar-koar si speaker deh. Katanya, “mau menjawab
panggilan mulia”. Ya sudah, aku bisa lega sedikit, paling tidak
tuanku menghampiri si speaker. Sejenak sebelum gagangku
diletakkan oleh tuanku, “Hayya ‘ala shalaaah”, itu kata-kata
terakhir yang kudengar dari speaker, sebelum gagangku
diletakkan kembali.
Baiklah, seharusnya
sedikit syukur dariku aku beruntung memiliki tuan yang selalu
menjawabku. Namun, selalu ada sedikit harapan untuk speaker
yang hidupnya tidak semudah aku, membuatku berada di antara sedih
namun bangga. Tetap semangat speaker!
Semoga bermanfaat
0 komentar:
Posting Komentar