Sabtu, 08 November 2014

Selayang Rindu, Terupa Sayang, Idul Adha 1435H

Assalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh.

Kabar terbaru dari negeri keju. Bentuk cerita kali ini adalah cerita narasi sudut pandang orang pertama. Terima kasih
(redaksi: tulisan ini tertunda sebulan lamanya akibat penulis yang sangat seru bertanding dan bergumul dengan kuliah dan kehidupan baru)
-----------------------------------------------------------------------------------------------------

Suara takbir tak terdengar lagi malam itu. Sudah tak terasa hampir sebulan aku di sini, di negeri yang terpaut jauh dari pengeras suara yang lazim digunakan di lingkungan pemukiman. Hanya aku, beberapa tamu menginap dengan rindu yang sama, dan sunyinya malam ini.

Sewajarnya, di kampung halamanku, kambing dan sapi sudah disiapkan menjemput takdir mulia sebagai kurban. Mereka melenguh dengan bahasanya, yang tak bisa kuterjemahkan apakah itu syukur atau haru. Kesempatan mulia ini tidak akan mungkin mereka anggap sia-sia. Begitu pun dengan manusia-manusia di dunia, menyambut hari tersebut dengan suka cita. Di sini, hari-hari berjalan seperti biasa, seperti Sabtu yang biasanya.

Pagi itu, aku membuka mata lebih awal dari kawan sekamar dan tamu. Ya, itu sudah biasa kulakukan di sini. "Hari ini Idul Adha, tapi sedih ya," pikirku.  Seharusnya aku bisa bahagia menyadari semua itu. Namun, kebahagiaan itu menjadi semu ketika memandang kubikel kamar mandi yang begitu mini. "Ya sudah, mau apa lagi, sudah di sini, dinikmati saja," dijawablah oleh sisi pikiranku yang lain. Kubasuh saja segala cuap-cuap itu dengan air yang dingin, lalu hangat, kemudian panas, dan hangat lagi. Dan segera kubangunkan kawan-kawanku yang terlelap. Menyambut nikmatnya menghamba ke Tuhan ketika matahari masih malu-malu untuk bersinar.

Berangkat. Shalat. Para wanita itu sudah berulang menekan bel kamar untuk mempercepat persiapan kami. Saya, sudah siap. Si tamu, sudah siap. Kawan sekamar? Ya sudahlah, kami tinggal pergi mengingat kata pendahulu kami mengenai tempat shalat yang terbatas. Perjalanan ke latar luas itu tak sampai 15 menit. Salah satu faktor bahagiaku di sini. Perjalanan itu begitu damai dan dingin, disambut ibu-ibu yang juga berangkat untuk Shalat Ied. Mereka menciumi pipi kawan-kawan wanita kami, itulah salam khas bagi wanita dari/ke wanita, atau lelaki dari/ke wanita di sini. Saya hanya bisa memberi gestur dengan guratan senyum.

Begitu sampai di depan bangunan dengan kubah itu. Suara takbir indah itu terdengar. Pecahlah kompresi rindu yang sudah mencoba membongkar dirinya sendiri. Tak lama setelah aku duduk di baris yang termasuk di depan itu, tetes demi tetes dingin dari pelupuk mata berjatuhan. Satu demi satu rindu jatuh, terkisah cinta menghadiri hati, sejuta harapan dan pinta dalam hantaran doa, demi khalayak yang di sana. Demikian hingga terulang dalam alunan bacaan takbir yang terucap, selagi menata sangkar untuk membendung kisah rindu itu.

"Allahu Akbar," pertanda ibadah mulia ini dimulai. "Allahu Akbar," kutirukan selirih mungkin. Tak sanggup jua pita suara ini berdengung lebih keras. Lagi-lagi, bendungan itu ludes, dengan rapuh. Teringat suasana takbir yang dulu (begitu biasa) dirasakan di mimpi, di sebelah seorang kakak, kadang sepupu, dan kadang paman yang baik. Teringat hikmah Idul Adha mengenai sesosok keikhlasan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, yang terbungkus cinta dari anak kepada ayah, dan dari ayah kepada anaknya, dalam menjalankan perintah Allah.

Ibadah Shalat Ied pun selesai, dilanjutkan dengan khutbah. Namun, aku (terpaksa) tidak tertarik mendengarkan khutbah itu. Agenda baru sudah memanggil, yakni kuliah pengganti. Semakin sadar bahwa diri ini jauh (sekali) dari tanah kampung halaman. Tersebut ketika hari libur agama tertentu bukan hari libur nasional. Segera saja, setelah mengabadikan momen ini untuk kenangan dalam setahun, kami berempat menunggu bus ke kampus dari halte terdekat. Berita baiknya, hari itu hari Sabtu dan masih ada layanan bus gratis, dari mana pun kapan pun di dalam kota.

Sejenak kita lewati kisah kuliah, langsung menuju persiapan penjamuan terkait Idul Adha. Iya, walau sederhana, kami menggunakan kesempatan ini untuk memanjakan lidah dengan hidangan agak khas dari Indonesia: lontong, gulai kambing, dan sate ayam; yang diramu dengan tangan kami sendiri. Kami sadar, hidangan tersebut tidak akan seindah dan selezat hidangan asli racikan di tanah air. Tapi, apalah arti kecap, bumbu gulai, dan bumbu sate demi obat rasa rindu itu? Potong, tusuk, rebus, bakar, kegiatan itu kami ulang terus hingga jadilah hidangan yang nikmat (bagi kami).

Seketika jam lokal menunjukkan waktu 19h, datanglah tamu kehormatan kami. Seorang sosok Ibu yang juga berasal dari Indonesia, yang sedang berusaha demikian keras juga menyelesaikan studi doktoral beliau sekaligus mengurus keluarga, yang menyertai beliau, dengan anggota 5 orang. Wajah ceria dan segar beliau menunjukkan semua akan berjalan baik-baik saja, ditambah dengan sayur pelengkap bawaan beliau. Sempurna dalam kesederhanaan.

Acara makan-makan itu berlangsung bahagia dan dengan pujian atas masakan kami. Senang? Alhamdulillah, cukup bersyukur hidangan kami ada yang menikmati, belum lagi dibilang enak. Tidak lupa kesempatan istimewa kecil ini juga didukung oleh kawan-kawan dari Lille, St. Omer, dan Clermont Ferrand. Idul Adha ini sungguh menyenangkan, dan berbeda. Menarik garis lurus yang menghubungkan sederhana dan rasa syukur, mendekatkan kata saudara dan kawan, dan meresapkan hikmah Idul Adha untuk kami yang (seharusnya) akan lebih siap memaknai karunia-Nya.

Terima kasih untuk semua pihak yang mendukung, semoga sehat dan selalu mampu mengambil hikmah selalu.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Terbilang sekian lama hidupku di sini, aku teringat kisah kaum yang hijrah dan kaum Anshar. Mereka yang datang dipersaudarakan dengan kaum penolong oleh Rasulullah. Jika merunut hikmahnya, mungkin kita berada di kondisi, waktu, dan nikmat yang jauh berbeda tapi, saya memaknai arti dipersaudarakan di sini. Takdir itu terkata lewat waktu, kesempatan, dan nikmat. Alhamdulillah 
Perantau pemula, Compiègne, 8 November 2014

Semoga tulisan ini memberi manfaat. Jika ada kritik dan saran yang ingin disampaikan, silakan isi di kolom komentar. Terima kasih banyak.
Wassalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh.
Lokasi: Compiègne, France

0 komentar:

Posting Komentar