Kamis, 07 Februari 2013

Katakanlah Kepada Hati untuk Menjaga Diri


“Lis, kalau menutup pintu jangan keras-keras... Nanti rusak!” Terdengar suara seorang wanita paruh baya sekadarnya dari dapur tempat kecil itu, sedemikian pula gadis seragam putih abu-abu itu tak mengacuhkannya. Karena perasaannya sudah ingin membongkar kamar itu, rumah, ah tidak, bahkan kehidupannya. Kehidupan yang serasa hancur lebur, dalam diri yang tergeletak begitu hampa di atas tempat tidur.
Begitulah keadaan Erlisah, 17 tahun, siswi sebuah SMA ternama di kota di ujung timur Jawa. Tergolek begitu lemah memikirkan secarik pesan yang didapatkannya siang hari tadi. Derai air mata melewati gerai rambutnya itu membahasakan kalutnya, di lapangnya kasur ukuran kecil tersebut.
Padahal ceria yang tergambar dalam kesehariannya begitu terpancar hari itu, perempuan belia dengan tas paling merakyat sesekolah. Tas yang pertanda tak pernah berganti wujud, dari zaman kakaknya. Namun, kata “ceria” pun mencair begitu saja ketika jam istirahat. Sedetik saja setelah baris terakhir surat yang diterimanya selesai diproses pahamnya.





Kepada: Erlisah
Kamu tahu, mungkin beberapa saat yang kita sudah lalui bersama ini adalah masa paling indah yang kurasakan selama ini. Yah, kamu tahulah. Kita sudah hampir mirip orang pacaran. Ke mana-mana bareng. Nggak ke kantin, ke perpustakaan, ke laboratorium, bahkan ke musala sekolah pun, yang jelas-jelas nanti pisah gara-gara beda tujuan pun bareng. SMS pun nggak pernah lepas dari kata rindu dan kasih. Ya beneran, saya akui itu benar-benar hal yang paling menyenangkan dalam hidup saya. Berbagi hidup mungkin istilahnya, dengan seseorang yang sangat berarti.
Tapi, apa mau boleh dikata. Sebenarnya hati ini tulus ketika bersama kamu. Cuma, saya berharap banget. Kalau sebenarnya hal ini nggak jadi kenyataan di masa depan, dalam waktu dekat paling nggak. Nggak peduli suit-suitnya anak-anak di belakang kita, saya masih merasakan rasa itu bersama kamu dan ingin rasa itu berlanjut.
Namun, saya sempat berandai-andai. Udah pantas belum sih saya bersama-sama kamu. Sederhana, baik, pintar. Apa sih yang kurang? Saya kepikiran lagi, udah benar nggak sih yang saya lakukan selama ini? Berbagi kehidupan, mengagendakan suatu acara seharian, dengan seseorang yang seperti kamu, yang mungkin nggak tergantikan. Bagai seujung jarum di tumpukan jerami tahu? Tapi semua itu ada yang dirasa mengganjal.
Lalu, saya sadar. Saya ingin lepas dulu. Memutar balik roda kemudi yang sudah jauh berkendara. Membalik jam pasir yang sudah mungkin sekilo ada di tabung bawahnya. Hal ini nggak bisa dibilang perpisahan sih, toh ketemu setiap hari. Saya cuma ingin menjaga agar hal ini tidak sampai terlalu jauh hingga di hari nanti. Bukannya nggak pingin ketemu lagi, cuma saya ingin membatasi agar interaksi kita sewajarnya saja.
Sekali lagi maaf. Dan sabar mungkin saya sarankan sampai maksimal.
Seakan-akan hati saya berkata, jagalah dirimu sendiri. Sampai nanti halal waktunya. Saya tidak ingin berkata tunggu saya nanti, tidak. Saya tahu jika ada takdir yang mengisyaratkan ada yang lebih baik buat kamu, kenapa enggak saya mundur duluan? Biar nanti tangan Yang Maha Kuasa menunjukkan wajah itu.
Saya cuma nitip pesan terakhir untuk mengakhiri hubungan yang rasanya aneh ini (kayak gado-gado mungkin, hehe). Nggak cuma buat kamu, tapi hati kamu yang paling dalam: ‘Katakanlah Kepada Hati untuk Menjaga Diri’

Tertanda: seorang yang mungkin sempat memiliki arti
Zainur”
Erlisah pun serta merta pilu dan berlanjut dengan aksi mogok bicara sampai akhir...kehidupannya hari itu di sekolah. Semua ucap kawannya tidak digubris, ya sekadarnya saja. Mungkin “hmmm”, “iya?”, “nggak deh”,“maaf, nggak sekarang ya,”,”sori, lagi nggak mood ngomong”, atau cuma melengos saja reaksinya. Lirik-lirik sembunyi dihantarkan pada si Z dalam surat, yang berulang kali melintas di depan Erlisah dengan nyata, yang juga cuma memandang sekenanya kemudian menunduk sama seperti ketika memandang perempuan lainnya. Reaksi si Z menambah derajat kecemberutan Erlisah ke tingkat yang lebih tinggi, yang berlanjut memutar-mutar saja makanannya di kantin itu, berikut ekspresi kebingungan kawannya.
Desahan lemas pun membawa pikirannya kembali ke masa ini, beberapa jam setelah sepucuk surat itu sampai ke tangan Erlisah. Kertas tersebut sudah menjadi korban basah dan kusut sepihak demikian buruknya.
Dan dia pun masih menerka-nerka mengapa harus “menjaga diri”, atau pesan yang ditujukan kepada hatinya bahkan bukan kepada dia. Apakah mungkin dia harus membongkar gembok hatinya? Hati yang selama ini diselimuti perasaan “rasa” itu belaka? Atau memang ketika hatinya sudah dipenuhi “rasa” itu, ada yang terjepit di dalamnya, yang selalu mengetuk rasa itu agar tidak menyentuh nafsu yang buruk. Sesuatu yang acapkali gagal membentengi “rasa” itu. Ya, mungkin itu. Hal paling kecil dari hati yang sering dia tidak sadari.

-------------------------------------------------------------Diariku 19 Desember 2009 ER

Senyum simpulku terkembang menyambut halaman yang tidak sengaja kubuka ketika membongkar buku ini. Akhirnya aku pun mengerti menjaga diri, seraya membenarkan tatanan jilbab di depan cermin. Dan aku pun ingin selalu menjadi seorang yang ceria seperti keseharianku SMA dulu. SMS-SMS dari para teman lelaki baru kubalas pagi ini juga, meski sudah bersangkut di kotak masuk sedari mungkin 8 jam yang lalu, tak lupa kusertakan maaf. Mungkin hidup ini sebenarnya indah, dengan perasaan yang juga dulu kurasakan. Namun, perasaan itu biar jadi perasaan dalam hati. Tunduk dalam kepatuhan diri dalam nurani.