Sabtu, 09 Agustus 2014

SAKURA EXCHANGE - Day 1/2 (Kabut, Hujan, Gunung)

Assalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh
(Foto menyusul, sabar ya)

Selamat siang, sekarang sebenarnya saya sudah berada di kampung halaman dan merasakan beratnya hidup (baca: koneksi internet yang lebih lambat dari koneksi internet di Jepang). Tak apalah, berikut saya akan bercerita mengenai pengalaman hari kedua di Jepang. Secara garis besar, perjalanan Ahad 3 Agustus 2014 ini isinya jalan-jalan mencicip secuil nikmat Allah yang dihadirkan di sekitar Kumamoto.

Di sini, tersurat saya tidur pukul 01.30, dan Alhamdulillah membuka mata pukul 04.30 (waktu setempat) dan bergegas salat Subuh. Setelah menyelesaikan ibadah rutin, mandi, dan meringsek baju bengonglah saya mau melakukan apa sampai jam 7 pagi (waktu layanan sarapan di toyoko-inn.com). Alhasil pukul 6.00 saya sudah turun ke lobi (dan tetap bengong) dan duduk di meja sarapan.

Sarapan :)
 
Baru duduk beberapa saat, saya sudah takjub dengan Ibu-Ibu (hanya dua sebenarnya) paruh baya yang mempersiapkan sarapan untuk para tamu penginapan. Beliau-beliau sigap sekali mempersiapkan ini itu untuk layanan sarapan hingga pukul 09.30 itu. Teriakan “Ohayou Gozaimasu!” yang riang nian menyenangkan itu membuat saya nyaman sarapan di sana. Seketika pukul 07.00 hadir di masa yang baru, tamu-tamu yang lain dengan tertib mengantri mengambil baki untuk sarapan. Oh self-service-prasmanan ya, begitu pikirku, sambil menyesuaikan posisi diri dengan antrian. *Ambil baki, ambil nasi kepal, ambil roti, ambil sup, ambil sumpit*, sepertinya sudah oke deh (dan berdoa semoga halal). Tak lama kemudian (sebenarnya sarapan sudah hampir habis), datanglah Meladia Elok. Sejenak bercengkrama hingga makanan habis, kami pun kembali ke kamar masing-masing. Bersiap-siap hingga dijemput Pak Prof Usagawa pukul 08.30 (waktu yang sebenarnya sedikit tidak masuk akal setelah semua lelah dan peluh keberangkatan), tapi ajaibnya (dan Alhamdulillah) kami semua dengan entah bagaimana wujud cara dan bentuknya bisa hadir dengan berseri-seri ke lobi. Sementara itu, sebenarnya di Jepang sedang musim panas. Tapi, di Kumamoto musim panasnya agak-agak galau akibat topan di daerah barat daya Jepang tempo hari, sehingga hujan bisa hadir sewaktu-waktu. Sehingga, payung sebenarnya demikian esensial.

Beranjak ke stasiun tram seberang jalan penginapan. Walaupun sepi, penyeberang tidak ada yang ngawur nyelonong ke tengah jalan dengan modal nekat, apalagi pengendara yang dengan semangat '45 menerobos lampu merah. Lalu, kami serombongan pun naik tram (yang cukup sepi) yang jalurnya berada di tengah-tengah jalan lajur berlawanan. Setelah beberapa stasiun tram, rombongan ITS dipandu Pak Prof Usagawa beranjak ke stasiun kereta dari Kumamoto ke stasiun kereta di Aso. Lagi-lagi, kami dikejutkan dengan sistem pelayanan di Jepang mengenai tiket kereta. Jika uang yang Anda masukkan lebih banyak daripada harga tiket yang diinginkan, mesin pembelian tiket akan mengembalikan uang Anda secara otomatis. Saya yang waktu itu memasukkan uang 1000 yen dengan sembarangan hadapnya tetap dikenali sebagai uang 1000 yen dan kembali sesuai dengan selisih terhadap harga tiket (berbeda banget jika dibandingkan dengan mesin pembelian minuman di halte busway Jakarta itu loh #KODE, pengolahan citra dan visi komputernya mantap - sedikit bumbu mata kuliah tidak masalah kan?).

Jadwal kereta yang demikian ketat mengharuskan kita untuk menunggu sekitar 30 menit. Dalam rentang waktu tersebut, Pak Prof Usagawa memperkenalkan perangkat mobile wi-fi yang bisa digunakan ketika perjalanan secara kolektif hingga 5 orang. Namun, hal tersebut berlaku jika ada sinyal (saja), belum pernah dicoba di tengah hutan, di dalam laut, dan di luar angkasa oleh kami. Alhasil, selagi menunggu kereta tiba, ada yang usrek sama ponsel, kamera, tongsis, vending machine, dan lain sebagainya. Ketika kereta tiba, bergeletakan di kursi pun rasanya indah karen hari tersebut adalah Ahad dan mayoritas penumpang kereta ini sepertinya pulang kampung atau liburan.

Setelah beberapa saat (yang bisa digunakan istirahat sejenak), kami harus “transit” ke kota kecil Ozu. Di stasiun kecil di kota kecil ini, kami menunggu kereta yang khusus ke Aso. Di ruang tunggu yang mewah dan nyaman, kami menerima penjelasan dari Pak Prof mengenai rute yang dilalui. Cerita: nanti kereta yang sampai di Aso bukanlah kereta yang dinaiki sekarang, tapi kereta lain. Keretanya bisa mundur terus maju lagi lewat jalur lain, karena nggak kuat kalau langsung dipaksa naik ke Aso. Setelah dijelaskan begitu panjang lebar oleh Pak Prof, kami diberitahu pula bahwa kereta itu akan datang 40 menit kemudian. Berarti kami bebas melakukan apa saja hingga kereta datang. Sehingga, apa yang dilakukan rombongan pemuda pemudi ini? Petunjuk: kamera, tongsis, pemandangan. Yak benar, foto-foto. Bisa dibilang kami produktif sekali untuk hal ini.

Rekreasi tersebut selesai tepat waktu karena Pak Prof dengan baik hati mengingatkan kami untuk segera bergegas naik kereta. Ada hal yang membuat saya terkesan dengan Jepang (lagi). Di pagar antara platform untuk menunggu kereta yang saling berseberangan/berlawanan arah, digantungkan pot bunga dengan tumbuhan. Reservasi lingkungan sebaik mungkin. Ketika naik kereta, saya duduk bersama Mia dan Rizqi selagi menikmati pemandangan asyik desa-gunung di antara Ozu-Aso.

Setiba di stasiun kereta Aso, kami naik bus untuk pergi ke ropeway Gunung Aso. Yang menarik adalah... saya ngantuk dan akhirnya tidur. Bukan, pemandangannya indah sekali walaupun kabut tipis atau sinar matahari menyeruak begitu saja tanpa permisi. Selagi meletakkan pandangan ke jendela dan terkantuk-kantuk, saya mendengar para turis asing di belakang bercakap-cakap. Ils parlent français! Hendak saya ajak bicara tapi ya sudahlah. Sudah ngantuk dan malas berpikir topik, ditambah lagi faktor siapa saya. Pikiran itu dilanjutkan dengan tidur indah selama beberapa menit sampai tiba di stasiun ropeway. Apakah ropeway itu? Itu lho, kereta gantung. Mirip yang digunakan di Taman Mini Indonesia Indah.

Seharusnya di Aso kita bisa melihat pemandangan indah. Hal itu tidak didapatkan sebagaimana mestinya karena hujan-hampir-badai-sangat-deras menyapa dengan elegan. Seelegan apa? Ketika akan naik ropeway sebagian besar rombongan sudah cukup percaya diri akan naik ropeway untuk naik saja dan turun dengan jalan kaki yang sekitar 15 menit karena mendungnya mungkin masih bisa dilalui dengan baik. Namun, Alhamdulillah si hujan baik hati sekali mengingatkan kami bahwa kepercayaan diri dan rencana manusia akan selalu kalah dengan rencana Tuhan. Cara mengingatkannya sungguh tidak diduga. Sejenak saja si kereta gantung keluar dari sarang stasiun, badai datang menghampiri dengan suara air jatuh yang lincah. Sedemikian hingga, rombongan pun berpikir untuk rencana B untuk turun ke bawah (yang artinya merogoh kocek lagi untuk turun: 600 yen). Sampai di stasiun ropeway atas, kami berunding (ditemani gemuruh dan tetesan air yang lincah) untuk menentukan langkah selanjutnya. Disepakati jika sampai batas waktu tertentu, hujannya tidak kunjung reda, kami akan naik kereta gantung turun, jika sudah reda, kami akan turun dengan jalan kaki ditemani Pak Prof Usagawa. Namun, Bu Maria, Mbak Lely, dan Mia urung mengikuti kami yang pergi untuk melihat kaldera karena khawatir akan sakit. Sehingga, tersisalah 8 mahasiswa ITS agak nekat ditambah Pak Prof Usagawa pergi menembus gerimis rintik dan kabut tebal hanya untuk “melirik” (dan foto tentunya) kaldera Gunung Aso.

Singkat cerita, tantangan dapat kami selesaikan dengan mudah. Hanya saja, kabut ini mengingatkan saya pada game Silent Hill dengan jarak pandang hanya sekitar sekian meter. Tenang kok, kalau pun ada apa-apa, yang panik ada 8 orang. Misi foto pun terselesaikan, 8+Pak Prof di depan kaldera yang tidak kelihatan. Sekembalinya ke stasiun atas Gunung Aso, si hujan kembali menyapa. Sejenak kami berdelapan merasa tidak OK. Lalu, setelah reda, kami berdelapan bersama Pak Prof turun ke bawah dengan jalan kaki (tuh kan, nekat, kakek dengan dua cucu diajak sejumlah muda mudi turun gunung, mungkin kami tidak tahu diri? Tapi mah, Pak Prof iya iya aja tuh). Perjalanan pun berjalan sedikit tersendat (red: tersendat adalah berhenti sejenak untuk berfoto, ber-tongsis, dan meneriaki salah seorang dari rombongan yang ber-selfie), tapi untunglah sampai di stasiun ropeway bawah.

Merasa lelah, kami pun leyeh-leyeh sebentar bergegas ke toko es krim cone yang ada di dekat stasiun. Meninjau tiket ropeway bisa digunakan untuk diskon 30% es krim. Kami sepakat untuk meninjau cita rasa dari es krim teh hijau yang dijual. Alih-alih mendapatkan es krim teh hijau, saya mendapat es krim vanila dengan biji wijen hitam karena kehabisan (tidak apa-apalah, masih es krim kok). Lalu, kami baru keliling melihat-lihat barang yang bisa dibeli (tapi akhirnya saya tidak beli). Si Zendy beli chochobi (itu lho, jajannya Shinchan), terus saya mengandai-andai (Oh, beneran ada ya? Kekuatan pemasaran dari film animasi keren sekali kalau begitu).

Perjalanan pulang dimulai dengan naik bus setelah leyeh-leyeh cakep di depan perhentian bus. Isi perjalanan pulang ini adalah… tidur. Pindah dari bus ke kereta… lalu tidur. Pindah dari kereta ke tram… melek (karena berdiri). Setelah dari stasiun tram, menyeberang jalan, ke lobi tidur lagi, Pak Prof menjelaskan rencana perjalanan untuk besok, bagaimana naik bus dari penginapan ke kampus Kumamoto University. Saya dan Zendy pun mengajukan diri untuk mempelajari bagaimana cara naik busnya (hanya diperlihatkan sih). Lalu, kami beranjak ke halte bus Suido-cho dan melihat bus yang mana yang harus ditumpangi. Kemudian, saya dan Zendy diajak berjalan-jalan ke area Shimotori untuk melihat area pertokoan dan makanan di sana.

Sekembali dari jalan-jalan, salat, mandi, dan lain sebagainya, muncullah tantangan: CARI MAKAN. Singkat cerita, setelah saling mencari (ada hilang koordinasi) dan ini dan itu, serta beberapa kali foto. Makannya sama saja seperti yang di Indonesia: KFC. Rasanya sulit sekali cari makanan yang “aman”. Tapi, mau tidak mau, ya begini jadinya. Semoga tetap barokah *kepepet karena kurang pengetahuan*. Malam ini ditutup dengan briefing di kamar Bu Maria mengenai perjalanan pertama SAKURA sebenarnya di Universitas Kumamoto besoknya.


Akhir tulisan, perjalanan kali ini membawa hikmah-hikmah tersendiri
Sedari menginap di penginapan hingga naik tram, saya jadi sadar, uang koin di Jepang itu sangat berharga. Uang koin di Jepang terdiri dari beberapa variasi saja: 1 yen, 5 yen, 10 yen, 50 yen, 100 yen, 500 yen (hanya 6 lho!). Tapi, untuk membeli minum di vending machine sekedar sebotol, kita harus merogoh kocek sebesar 120 yen. Jika di-kurs-kan ke rupiah, jadinya 12.000 rupiah-an. Untuk bepergian via tram, biayanya 150 yen (all route). TAPI, jangan buru-buru pake kurs, dijamin kita tidak akan tenang buat membeli apa-apa dan pergi ke mana-mana.
Meskipun biaya yang harus dibayar mungkin harus mengelus dada jika meninjau kurs, pelayanan dari fasilitas umum tidak diragukan lagi. Nilai uang terlalu besar? Ada mesin tukar uang otomatis. Kernet? Tidak diperlukan karena penumpang dituntut untuk tahu di mana harus turun. Tapi, kalau pun terlewat tarifnya tidak beda jauh (tetap sama kalau untuk tram). Sama seperti makan, merupakan tantangan sendiri bagi muslim (walaupun hidup saya di sana cuma seminggu ketika itu). Mandiri di negeri orang mungkin bukan hal yang mudah, tapi selama ada niat dan percaya semua akan dipandu Yang Maha Kuasa, Insya Allah kita akan menemukan jalan keluar.
Meninjau menyemangatinya Ibu-Ibu kantin penginapan, budaya antri, rapinya jadwal tram, bus, dan kereta, keselamatan dan saling menghormati antara pengguna jalan, saya pun berandai akan indahnya Indonesia dengan kedisiplinan dan etos kerja tinggi seperti itu. Saya jujur merasa bersemangat sekali ketika Ibu-Ibu kantin penginapan mengucapkan
ohayou gozaimasu dan dengan cekatan menyiapkan nasi dan sarapan untuk kami. Seakan-akan setiap tamu yang sarapan di sana dihargai lebih tinggi dan akan bekerja lebih baik jika disenyumi. Maka dari itu, introspeksi bagi diri saya sendiri, senyum dan semangat kita tidak hanya untuk diri kita, tapi untuk orang lain yang bersentuhan dengan kita.
Kesan paling unik muncul ketika bertemu Pak Prof Usagawa, yang dengan semangat super tinggi dan kedisiplinan oke (tapi maklum banget sama rombongan kayak kami, sudah tahu lah bagaimana bandelnya ketika tongsis diluncurkan). Bapaknya masih senyum lebar banget melihat lincahnya kami. Mungkin ini juga representasi etos kerja orang Jepang yang sangat tinggi. Pak Prof sangat perhatian terhadap kami. Pak Prof top banget deh!

Mungkin sedemikian itu saja tulisan untuk hari “Jalan-jalan” ke Gunung Aso. Mohon diambil yang baik dan dikomentari yang buruk. Jika ada kritik maupun saran yang bisa membangun, saya akan sangat bersenang hati menerimanya. Semoga kita bisa menjadi pribadi lebih bermanfaat lagi.

Terima kasih
Wassalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh.

Senin, 04 Agustus 2014

SAKURA EXCHANGE - DAY 0 (Departure)

Assalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh

Berhubung saya sedang waktu luang di negeri seberang (enggak sih. Sebenarnya buru-buru mau berangkat), ada internet yang cepat, dan permintaan dari teman-teman yang tercinta, saya menulis pengalaman di negeri Sakura ini cepat-cepat dan menunda tumpukan cerita di blog ini selama setahun (IYA, setahun).

Logonya SAKURA EXCHANGE
Sejarahnya, di tengah-tengah hingar bingar les Bahasa Perancis yang menyita waktu 20 jam sepekan, tugas kuliah yang Subhanallah nggarai gulung-gulung nggak karuan, pengerjaan Tugas Akhir yang akhirnya berakhir, saya mengikuti seleksi SAKURA EXCHANGE ke Jepang. Alhasil, setelah seleksi berkas, tes tulis (yang saya isi dengan tidak masuk akal dan mimpi-mimpi yang tinggi nian berbunga-bunga), dan tes wawancara (yang agaknya saya terbata-bata), saya termasuk sebagai salah seorang dari sepuluh mahasiswa yang menerima kesempatan nekat ini. Bagi saya jelas nekat, tanggal pelaksanaan SAKURA EXCHANGE mengambil waktu sebulan sebelum rencana keberangkatan menimba ilmu di Perancis (ketika harus mengurus visa dan lain-lain), sedikit masa sebelum ekivalensi+perwalian, dan mengambil waktu hanya 4 hari pasca lebaran. Singkatnya, saya tetap nekat memutuskan berangkat dengan mempertimbangkan semua itu.

 Persiapan? Tentu perlu. Berjumpa dengan saudara-saudari teman yang bakalan "hilang bareng" di sana. Dimulai dari Tri Hadiah Muliawati a.k.a. Mbak Lely (kalau dipanggil di jurusan dengan nama Lely bakal susah nih), Dewie, Zendy, Elok, Mia, Leo, Anton, Rizqi, Vidi, dan utamanya, Ibu yang baik sekali, sekaligus Direktur International Office saat itu, Bu Maria. Well, sebenarnya agak-agak kaku ketika mau masuk ke lingkungan orang-orang yang notabene baru saya temui di International Office ITS, tapi saya berusaha mencitrakan diri sebagai orang pendiam (tapi ya memang pendiam, nggak percaya?). Dan alhamdulillah, masih utuh sampai sekarang.

Hari H keberangkatan, saya sukses membuat huru-hara di rumah. Mulai bagasi keberatan, sepatu baru dibelikan yang nggak dikenakan, oleh-oleh yang belinya mengantri sampai seperti mandi, dan dasi ketinggalan. Maka dari itu, saya ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada semua orang yang mendukung suksesnya keberangkatan ini, terutama keluarga saya di rumah, Papa, Mama, Mbak Wita, Mas Lukman, Sasa, Bu Tri, Om Yek, Yayik, Om Andri, Nana, Kiki, Om Yan, Tante Andriani, dan pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan. Untuk urusan akademis, saya harus berterima kasih kepada Sigit, Ardian, Aziz, dan Gregorius, serta Bapak Ibu Dosen yang men-support saya dalam kesempatan ini: Bu Nanik, Bu Isye, Bu Anny, Pak Waskitho, Bu Chastine, dan Pak Hari.

Sampai di terminal 2, saya berputar-putar seperti orang hilang. Katanya sih berkumpul di counter Garuda Indonesia, tapi nggak ada ya. Eh lhadalah munculnya di dalam. Berlanjut check in, dkk dll dsb. Dan kejutan... tongsis milik Elok pun dirilis. Sepertinya sudah jelas sekuelnya, tidak usah berlanjut lebih lama. Singkat cerita, naik pesawat udah merasa WOW abis. penerbangan internasional standar luar negeri seperti ini. Bangku ada tipinya... Hehe. Maklum ndeso. Tak pelak penerbangan pagi itu ke Singapura diisi dengan makanan mewah dan menonton film yang baru beberapa waktu lalu disiarkan di bioskop atau film favorit. Setelah transit Singapura sekitar 1 jam, berpindah ke Taipei dengan pesawat yang sama (dikira renang?). Masih dengan tempat duduk yang sama. Dan nemu lagunya GReeeeN (yeay) adalah semacam penambah kenyamanan di pesawat. Perjalanan berjalan mulus hingga ke Taipei. Di Taipei, Bandaranya keren!.... (dan sepi, tapi bangunannya keren, Juanda mungkin tidak kelihatan sebagus itu). Tempat solat asar (+jamak takhir dhuhur)? Tidak disediakan. Alhasil, tantangan pertama adalah mengamankan tempat sepi di dekat toilet yang digunakan untuk solat. Dan Alhamdulillah everything works fine.

Penerbangan dari Taipei ke Fukuoka... Ganti pesawat yang versinya lebih lama daripada yang sebelumnya. Namun, nasib buruk menimpa saya. Headset bagian telinga kirinya bunyinya gemresek, memusingkan. Dan yah, saya terpaksa bergumul dengan bantalan kursi selama sekian jam (disela makan malam juga soalnya). Berita buruknya lagi, pesawatnya delay, jadi sampai Fukuoka tidak tepat waktu. Dan Prof. Usagawa (responsable kita di sini), menunggu dari jam 17 hingga jam 21-an. Sungkan banget rasanya. Ada pun kegilaan tidak berhenti sampai di sini. Selfie ditingkatkan ke level selanjutnya dengan mengajak Prof. Usagawa. Yah, maklum dong ya. :P

Next, ditemani beberapa rekan dari Indonesia yang sedang berkuliah di Fukuoka, menunggu bus express TERAKHIR yang beroperasi di jalur Fukuoka-Kumamoto. Kalau ada yang ketinggalan ya siap-siap hubungi orang untuk menginap di sana, kata Pak Prof. Usagawa (ngemper di bandara nggak boleh ya Prof?). Perjalanan dengan bus dimulai pukul 22.30 dan mendarat dengan muka-kangen-kasur pukul 24 sekian. Sampai di penginapan... mengisi berbagai formulir dan lain sebagainya. Akhirnya dapat kunci sekitar pukul 25.15 untuk kamar tunggal. (heran sih? mengapa 25? Saya juga heran. Ada toko buka pukul 9-26... artinya jam 9 pagi sampai 2 pagi).

Bertemu kamar, artinya kasur? (BENAR!) Saya sudah buru-buru menancapkan kunci ke lubang kunci. Dan... *putar ke kiri* (nggak bunyi klik) *putar ke kanan* (nggak bunyi klik). Sejenak hembusan nafas, (entah saya apakan saja pintu itu) dan berhasil dibuka dengan.... memutar kunci sekaligus mendorong daun pintu. Namun demikian, ke-kagok-an dengan teknologi tidak berhenti sampai di situ. Masuk kamar... kok gelap? *pencet-pencet saklar *pencet2 tombol yang kelihatannya sumber listrik. Kemudian, saya dan Mbak Lely... berbingung ria, disambut Elok dengan... *itu gini lho* menusukkan gantungan kunci hotel ke lubang yang sepertinya sumber listrik. Tidak mau berpikir mengenai benda-benda itu lebih lanjut (karena bertemu WC duduk yang tidak biasa), saya pun langsung bilas, wudhu, dan shalat jamak takhir magrib-isya (darurat) dilanjutkan tidur.

Alhamdulillah, perjalanan tersebut memberi pelajaran yang menakjubkan. Bertemu kawan-kawan baru, menikmati indahnya negeri matahari terbit, terkagum dengan sistem transportasi, dan kedisiplinan. Semoga nantinya bisa bermanfaat bagi kita semua.

Wassalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh