Minggu, 30 November 2014

Saudaraku, Singgahlah Sebentar di Compiègne

Bonjour! Ca va?

Assalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh

Cerita ini demikian dimulai berasal dari sebab musabab dua orang kawan dari Paris bertandang ke kota tempatku bernaung sekarang, Compiègne. Andaikata jarak dan waktu itu tidak berarti, 1 jam di kereta mereka tempuh dengan separuh berdiri dan separuh duduk, simpulannya jarak dan waktu itu masih berarti pengorbanan (selain uang yang dikeluarkan).

Terdampar di Compiègne, Jumat, 28 November 2014, 20.55, mereka sudah dihadang oleh Edwadr yang (tidak kutahu juga, ternyata) menjemput. Beranggotakan 4 pemuda (sedikit) gagah (tapi tanggung) dan membawa semangat juang 10 November (dari ITS maksudnya), sekumpulan langkah kecil itu beranjak ke resto kebab di persimpangan dekat stasiun. Kebab yang demikian agak salah pesannya gara-gara saya nyamber dengan "oui, oui," saja. Langkah kaki mereka ke asrama kami yang "biasa saja" dilakukan dengan jalan kaki. Dua orang teman singgah ini selalu menyumbang senyum di tiap jejak memandangi sederhananya kota ini. Tidak, bukan kemewahan gedung tinggi nan megah laksana pusat perbelanjaan seperti di negara asal kami yang mereka bicarakan, tapi kesederhanaan suasana baru dan sepi yang tidak mereka temui di Paris.

Sekejap terasa paling tidak 20 menit perjalanan dari stasiun ke asrama, mereka melepas lelah sedikit dengan cangkir cengkrama kehangatan dari kawan yang tidak ditegur sua langsung selama hampir 3 bulan. Selagi seorang perantau dari Riau bertukar kisah denganku dan Aziz, seorang perantau lain pergi ke kamar Edwadr untuk bermain dan bertukar kisah yang lain. Dan dengan tidak sopannya, selagi bertarung dengan adonan kroket yang akan dibawa untuk piknik ke hutan kota esok hari, aku terkadang bersahut dengan dialog yang menarik hati. Pembicaraan dan laga pertarungan dengan adonan masakan kuakhiri dengan tenaga yang menipis ketika jarum jam sudah menepi ke dini hari di hari Sabtunya. Merajuk ke kasur buatan yang tergeletak begitu saja, selagi dua kepala saling bertukar isi kenangan, dan semakin ramai dengan dering bel pintu kamar, si perantau dari Surabaya yang mengakhiri sesi di kamar lain, dan menyambung cerita di kamar ini.

Sekitar pukul 5 pagi, Sabtu 29 November 2014

Alarm ponsel siapa saja berdering di kamar ini, dan hebatnya, sepertinya aku target empuk mereka. Terjaga sekejap pukul dua, tiga, empat, dan memutuskan untuk mengakhiri lelapku sedari pukul 5. Melakukan ritual pagi: menyapa ruang pembuangan (jika diperlukan), mandi, ibadah. Berlanjut ke pertarungan ronde dua menggoreng cimol dan melanjutkan laga dengan kroket yang sudah kusimpan di kulkas.
Tak lama dari sekitar 1 jam, aku bersiap mengerahkan tenaga seadanya untuk membangunkan tiga kawanku ini, seorang kawan sekamar, dan dua tamu rantau. Gagal dengan mengucap dengan lembut dari ujung pintu, dilanjutkan dengan kegagalan teriak, dan kesuksesan hawa dingin dari sisi balik jendela, yang kubuka lebar membawa salam dingin dari udara di luar sana. Ternyata oh ternyata, sapaan tajam ini masih belum mempan, teriakan dan paksaan galak untuk segera mengambil wudhu dan menyiapkan lahan bersujud dikirim langsung dari lidah ini, mungkin tak terpikir berapa dosa yang mungkin kutabung untuk ini, tapi kupikir semoga perbuatan ini bisa menyusul detikan subuh yang kian habis dan ditawar dengan shalat jamaah.
Berikutnya, setelah beberapa masa sarapan, dengan ditambah dialog renyah dari seorang kakak wanita dari kamar atas, wujud nyata dari saling silang jurusan yang harus kami hadapi tercurah di laptop statistikawan yang harus menelusuri bingkai kerja dari C# dengan fitur delegasi dan fungsi anonim, diperseru dengan perintah bahasa Perancis. Kubalas aksi itu dengan tatapan nanar ketika bercerita tentang kisah satu teorema dan penjelasan di papan tulis yang harus dihapus dan ditulis berulang kali oleh dosen untuk memahamkan muda-mudi ini. Tenang, ini bukan dalam rangka bertukar kesedihan, karena tantangan kami dan setiap orang di sini berbeda-beda.
Ah, sudah 09.30? Setelah para pengarung hari mandi dan bersiap untuk perjalanan panjang menyusuri hari (dengan rencana) sejauh 15 km, ke kastil Pierrefond, yang demikian indah, kata Mbak Risa, yang kebetulan akan beraksi sebagai semi-penunjuk-jalan. Sebenarnya kami datang agak awal di perhentian bus, namun memandang balon udara berpenumpang yang lewat di atas kami (pemandangan jarang, nih!) mungkin kedatangan awal kami bukan suatu kesialan.
Bus gratis itu tiba dengan penumpang yang seadanya, membawa tas belanja, membawa anaknya, kemudian silih berganti dengan penumpang tua muda, yang senang hati memanfaatkan bus ini untuk menunjang keperluan sehari-hari, pergi ke tempat ekstrakurikuler pelajar, atau hanya menyempatkan keluar di akhir pekan). Hal gratis dimanfaatkan para penumpang sebaik-baiknya, dengan datang tepat waktu, atau lari-lari dari kejauhan ketika bus sudah terlihat di perhentian.
Sekitar pukul 10.20, terlihat wajah Palais de Compiègne, yang tidak terlihat tinggi menjulang, namun apik dengan kharisma megahnya sebagai tempat tinggal raja di waktu yang lalu. Sejenak kami hanya bertandang ke kantor depan untuk membeli beberapa kartu pos, dan mungkin oleh-oleh yang tidak ada bau khas dari Compiègne.
Lalu, perjalanan yang benar-benar berjalan bermula di sini. Hampir sekitar 1 jam setengah dari Palais de Compiègne sebagai titik mulai, kami berjumpa dengan para pelaku jogging, kadang dengan anjing, pohon-pohon tanpa daun yang nyata menampakkan ranting, pengendara kuda dengan kakinya yang entah ramping, dan padang hijau indah dibalut kencang angin nan hening. Cakap tawa dan beradu kata kami tumpahkan selama perjalanan, aku seorang diri, kawan sejurusanku, dua tamu singgah ini, dan kakak semi-pemandu ini.
Perlahan lelah mulai terkesiap mengiringi langkah kami, yang ternyata tidak sampai separuh perjalanan, bahkan bisa terhitung seperempat dari 15 kilometer itu. Harapan masih muncul dari pemantik dari ibu-ibu (sepertinya traveller) yang menjawab Pierrefond itu indah sekali, bisa dicapai dengan jalan kaki lewat sini-sini-dan-sini. Kami, yang sedikit bergantung kepada Mbak Risa, mengklaim paham atas penjelasan ibu-ibu itu, dan berniat masuk ke hutan untuk melanjutkan perjalanan.
Le Trail des Beaux Monts, saksi haha-hihi perjalanan agak mendaki kami
http://beauxmonts.free.fr/

Di dalam hutan Compiègne, yang menjadi saksi sejarah penandatanganan gencatan senjata Perang Dunia 2, kecantikan musim gugur berikut tusukan angin dingin kami nikmati dengan harapan yang sekadarnya, sinyal agak lemah, langkah kaki yang gontai, canda tawa yang agak melemah. Sense of journey yang kami kembangkan sepertinya sudah hilang karena masih sampai hutan dan kehilangan arah, sedangkan sudah pukul 1 siang. Hal ini menambah keraguan untuk melanjutkan perjalanan, kata teknologi ternama GoogleMaps, perjalanan masih terpaut sekitar 2 jam. Ditambah faktor pukul 4 sudah hampir gelap. Semuanya terasa tak masuk akal dengan pendapat "ayo pulang naik taksi dari Pierrefond" dariku rasanya gagal. Demikian karena tak ada jaminan juga kami bisa sampai di Pierrefond di waktu yang tepat.
Semakin buta arah karena teknologi semakin lemah dan absennya pemahaman kami terhadap peta hutan, kami memutuskan untuk kembali, kukut, menyerah, dan membuka bekal piknik di sedikit jauh dari titik balik kami. Menyantap masakan dariku, dicampur dengan sedikit terbahak, Alhamdulillah apresiasi sedikit didapat dari masakan rantau ala kadarnya, puding roti coklat keju apel, kroket udang jamur, dan cimol goreng dipadu dengan saus sambal ABC yang demikian langka di Eropa.
Perjalanan berlanjut sekadarnya, karena kelelahan dan (mungkin) kecewa karena tidak sesuai tujuan yang diharapkan. Diakhiri dengan tur sejenak di Palais de Compiègne (lagi), dan menelusuri kediaman raja di kota ini. Dalam tur dan pameran kecil itu, diceritakan oleh suatu Compiègne berperan sebagai pusat kemiliteran ketika perang dunia dan ditunjukkan bahwa Perancis dan Amerika Serikat menjalin hubungan yang baik dalam bidang kemiliteran.






Museum Palais de Compiègne, selayang pandang, dokumentasi pribadi

Pameran yang ditunjukkan saat itu adalah pameran rumah sakit. Menggambarkan keadaan rumah sakit ketika perang dunia. Terlihat banyak peralatan yang dulu dipakai ketika masa itu: baju perawat, tandu, properti ambulans, dan sebagainya. Lumayan menarik, mengingat Palais yang dikonversi menjadi museum bertempat di kota lebih kecil dan lebih baru daripada Paris ini menyimpan sejarah yang cukup luar (belum tahu sejarah kota lain juga, sih).
Tatkala waktu menunjukkan penghujung hendak magrib, aku dan kedua kawan singgahku ini beranjak pulang ke asrama selagi sejenak kadang mengabadikan momen perjalanan di Compiègne ini sepanjang perjalanan yang tersisa. Dan pada akhirnya, aku mengucap salam perpisahan untuk kedua kawan di rumah Allah cabang Compiègne.

Perantau tanggung, kiri ke kanan: Firman, Saya, Novri, taken from: Novri's instagram
-Terima kasih sudah berkunjung, marilah kita pererat silaturahim, kita, bersama, mengarungi laut harapan, ikhtiar, dan mengamalkan ilmu dan ibadah kita sebaik-baiknya. Yang kita harapkan mengundang pemberian rapor akhirat nanti melalui kebaikan, Aaamiiin-

Let's have a nice another journey again mes fréres, we can survive!

Wassalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh
Merci pour lire et ton visite!


0 komentar:

Posting Komentar