Minggu, 23 Mei 2010

Sekalipun itu Menyakitkan, Syukuri Hal Tersebut!

Assalamu alaikum Wr.Wb.

Pernahkah dalam setitik hidup, kita menyesali sesuatu yang tidak pernah kita sukai...? Sesuatu yang menyakitkan, menusuk sampai-sampai ingin bunuh diri atau menangis sampai menunggu keringnya air mata?

Meskipun kata-kata di atas terdengar sedikit puitis dan dramatis (baca: berlebihan). Tapi, seandainya hal-hal di atas memang benar terjadi, apa yang akan kita lakukan? Seperti itukah?

Mungkin memang sedikit naif, tapi saya pernah mengalaminya. Sebenarnya, masalahnya sederhana. Hanya sedikit perencanaan dalam hati, lalu tiba-tiba.. ya tiba-tiba saja... Sedikit berkisah tak apa-apalah. . .

--cerita dimulai--
Hari Sabtu itu, saya di Probolinggo menikmati liburan tetapi baru direncanakan dijemput Jumat pekan depan. Tapi, dalam hati (hanya di dalam hati saja) saya ingin pulang ke rumah (Waru) ketika Minggu tiba (esok harinya) karena sudah berencana ini itu di kemudian harinya. Saya ingat, ketika itu pukul 08.30 saya diajak ke bengkel bersama paman saya untuk menserviskan vespa, dengan membawa motor lain. Dan ketika pulangnya ke rumah paman, pukul 09.00. Dan saya menonton televisi. Ketika tengah-tengah menonton televisi, saya merasa aneh... Pandangan saya mulai berkunang-kunang dan merasa pusing. Saya mengaduh-aduh dalam kepala saya. Namun, tetap menonton televisi. Hingga pukul 09.30, saya memutuskan menyerah dan pergi ke kamar tidur saya. Menyembunyikan kepala di balik bantal sambil menahan ikatan tali tidak terlihat melingkar di kepala saya. Dan dibantu tusukan-tusukan jarum kasat mata yang terus diarahkan pada pelipis saya. Sakitnya bukan main.

Tidak lama kemudian, Bibi saya datang dan berusaha mengobati saya ala kadarnya. Alhamdulillah pusingnya hilang, pikir saya. Namun, tusukan-tusukan itu tidak berhenti, malah semakin sakit pula. Dalam hati saya terus berdoa, "Ya Allah, ampunilah hambamu ini... Hilangkanlah rasa sakit ini...," sembari terus berzikir. Lalu, Bibi saya menelepon Ibu saya yang di Waru dan beliau merespons dengan, "Ya sudah, Selasa Hani (nama saya) takjempute," dengan logat jawa khas.

Saya, tentu saja, masih mengerang-erang dan memendam kepala saya di balik bantal (sampai begitu menyiksa). Hingga makan siang tiba, saya terpaksa tidak bisa salat Zuhur karena tidak mampu beranjak mana-mana. Sungguh sebuah derita. Dan sepuluh menit setelah saya selesai makan, tiba-tiba Ibu saya menelepon ke Probolinggo. Beliau memutuskan untuk menjemput saya esok hari (hari minggu). Sontak saya terkejut dan mengucapkan Alhamdulillah dalam hati.
--cerita selesai--

Dari sejumput ketikan tersebut, mungkin terbersit sedikit pendapat yang unik dari para pembaca sekalian. Tapi, khususnya, dari saya sendiri, ini adalah sebuah hidayah dan pencerahan. Di samping saya tidak merencanakan penyakit pusing tersebut walaupun saya berjam-jam di depan layar laptop saya yang berkelap-kelip selama 6 hari sebelumnya, sungguh saya merasa penyakit aneh, yang setelah diperiksa darah tifus dan DB tidak menunjukkan tanda-tanda penandaan wilayah jajahan saat itu, itu adalah sebuah barokah. Walaupun saya belum memeriksakan problema tersebut ke dokter mata, saya merasa tidak ada waktu saat itu untuk berhenti bersyukur kepada Allah SWT. Lalu, saya berintrospeksi. Mungkinkah semua jalan yang tergariskan untuk diriku ini bukanlah jalan yang kupilih? Mungkinkah jalan yang kugariskan sendiri ini tidakseperti jalan yang seharusnya kulalui? Tapi, apakah jalan yang kupilih adalah jalan yang miring sedikit, meskipun 0,000000..... sekian derajat saja Allah SWT akan membantu saya kembali ke jalan yang benar?

Pikiran-pikiran itu membuat saya bersyukur akan mungkinkah itu sebuah penyakit, bencana, atau tragedi apapun. Selama kita selalu dibantu oleh Allah SWT dan percaya kepada diri kita untuk mengambil hikmah, sisi positif, keikhlasan jalan yang panjang yang tersembunyi di balik awan penyesalan. Kita akan tetap mampu bersyukur dan berikhlas diri meskipun seberat apapun cobaannya.

Sedikit pantun untuk mengakhiri tulisan ini...

Rembulan si manis nan lugas
Entah di mana pungguk munculkan diri
Si jalan rahmat lagi ikhlas
Di balik si derita tahukah diri

Mungkin ke-bermanfaat-an tulisan ini yang begitu sedikit pantaslah disingkap oleh tabir kesyukuran atas siapa yang mau membaca lagi bertanggap ria.

Akhir kata, sekian dan terima kasih, mohon maaf apabila ada salah kata.

Wassalamu alaikum Wr.Wb.

Rabu, 19 Mei 2010

Memperingati Hari Kebangkitan Nasional ke-102

Assalamu alaikum Wr.Wb.

Tidak terasa sudah 102 tahun lalu, Pergerakan Nasional Indonesia mulai dirintis sedikit demi sedikit dengan berdirinya organisasi sosial budaya pertama Boedi Oetomo. Di tengah bergolaknya penderitaan dan tangis mendera akibat penjajahan Belanda yang tercatat dalam waktu tiga setengah abad, suara para kaum cendekia mulai berhingar-bingar walaupun di dalam kalangan bangsa Indonesia yang sembunyi-sembunyi merancang rencana kemerdekaan yang akan terlaksana 37 tahun setelahnya tanpa diketahui.

Semangat yang disulut oleh DR. Soetomo dan kawan-kawan pun patut kita contoh demi masa depan sehingga perjuangan mereka tidak sia-sia. Pada awalnya mereka mungkin berharap agar Indonesia lepas dari belenggu imperialisme dan kolonialisme. Dan terhitung 17 Agustus 1945, Indonesia sudah lepas dari belenggu tersebut. Namun, apakah sebenarnya benar-benar sudah? Dan lagi, api semangat yang disulut oleh kaum cendekia pada masa 102 tahun lalu tidak akan direncanakan padam setelah 102 tahun menyala. Karena mereka sadar akan jalan yang masih sangat panjang yang akan ditempuh Bangsa Indonesia lebih dari 37 tahun ke depan lagi.

Adakah berbagai cara memanfaatkan semangat yang belum mati itu?

Tidak usahlah terlalu jauh kita memikirkan pemerintah, tidak usahlah terlalu jauh memikirkan petinggi-petinggi nan jauh di sana... Berpikirlah tentang apa yang akan kita lakukan sendiri... Demi bangsa kita... Prestasi...Pengabdian dan lain sebagainya..

Mungkin kita sering bertanya "Apa yang pernah negara lakukan kepada kita?" Namun, itu sudah basi dan tidak relevan dengan keadaan negara... tapi pertanyakanlah "Apa yang pernah kita lakukan kepada negara?"

Mungkin itulah sekelumit tulisan dari ketika tuts-tuts papan ketik saya...semoga bermanfaat...

Selamat Hari Kebangkitan Nasional ke-102....

Salam Merah Putih Jaya!

Wassalamu alaikum Wr.Wb

Senin, 03 Mei 2010

Andaikan Sekolah seperti Piknik...

Assalamu alaikum Wr.Wb..

Mungkin sudah santer di
telinga sebagian orang kalimat-kalimat "Gedung sekolah roboh", "Beberapa ruang kelas bocor dan sekolah kebanjiran, siswa terpaksa diliburkan", dan lain-lain. Berita-berita tersebut agaknya menggelitik hati saya dengan menuliskan posting ini.

Kondisi sekolah dan lembaga pendidikan yang memprihatinkan tersebut tentunya melemahkan semangat para pejuang Tut Wuri Handayani era kini, baik guru, maupun murid. Haruskah perjalanan panjang bangsa Indonesia terus-menerus tersandung kerikil-kerikil seperti ini?

Memang bidang pendidikan adalah suatu perjuangan keras bangsa Indonesia di tengah-tengah polemik politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lainnya. Namun, tidak menutup kemungkinan pula pendidikan Indonesia bisa dan mungkin menjadi nomor satu di kancah persaingan internasional (setelah perjuangan dan perjalanan panjang tersebut tentunya).

Kembali ke fasilitas berupa gedung sekolah. Begitu banyak masalah yang tersebar dalam perawatan gedung sekolah dan perawatan tersebut tidak akan selesai dalam waktu singkat dan otomatis akan mengganggu proses belajar mengajar. Lalu, tiba-tiba terpikir sebuah ide di benak saya, mengapa sekolah harus di sebuah gedung?

Tapi, saya juga merasa prihatin juga terhadap murid-murid SD dan TK (bayangkan, teman! SD dan TK) harus bergantian menerima pendidikan mereka di sebuah lumbung padi. Sungguh sebuah kenyataan yang menyakitkan hati, bukan? Dan tentu saja bukan ini solusi yang saya pikirkan untuk menggantikan suatu bentuk "fisik" sebuah gedung.

Lalu, apa? Setelah saya menggali benak lebih dalam lagi dan melihat inovasi-inovasi yang pemerintah telurkan. Terpikirlah sekolah keliling. Ketika sudah ada perpustakaan keliling, SIM keliling, dan keliling-keliling lainnya. Mengapa sekolah tidak bisa? Paling tidak sebuah kelas keliling. Terlebih lagi, banyak murid penderita "susah sekolah" termasuk dalam golongan tidak mampu. Menurut pemikiran saya, bukan hal mustahil sekolah diadakan seperti piknik.

Pertama-tama menjemput para murid di rumah masing-masing, atau mengumpulkan para murid di satu tempat yang lebih mudah dijangkau murid. Dalam alat transportasi "sekolah keliling" sudah tersedia lemari (seperti loker) untuk menyimpan buku-buku dan alat tulis yang dibutuhkan para murid. Kemudian, para murid dibawa ke suatu tempat alami yang menurut sang guru cocok dan nyaman untuk belajar mengajar pada mata pelajaran hari tersebut. Setelah itu, sang guru bisa menggelar tikar atau karpet untuk alas duduk para murid dan menyiapkan papan tulis yang bisa dibawa ke mana-mana bila perlu. Disambung siang hari untuk makan siang dengan bekal sendiri-sendiri atau saling berbagi satu sama lain (tukar bekal) atau mungkin pihak sekolah menyediakan konsumsi. Dengan begitu, suasana kelas dan belajar mengajar akan semakin mengasyikkan dan seru.

Mungkin sedikit banyak ide ini akan menguras lebih banyak biaya operasional pendidikan (asalkan korupsi dan potong uang sana sini tidak ikut-ikutan ambil bagian). Namun, jika demi kebaikan dan kemajuan pendidikan Indonesia, siapa tahu layak dicoba.

Mohon kritik dan saran yang membangun. Terima kasih sudah membaca....

Wassalamu alaikum Wr.Wb.