Sabtu, 31 Januari 2015

Examen Final, Momen 1 Tahun Sebelum ini dan IFI

Assalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh...

Alangkah indahnya hari ini setelah semua beban ujian ini selesai. Sebagai informasi, di kampus saya di Perancis, ujian akhir semester seperti sebuah maha-cobaan mini (menurut saya sih). Yakni, ketika semua materi yang menggunung harus diluluhlantakkan selama semalam (untuk saya, Sistem Kebut Semalam (SKS) masih belum mengecewakan saya) untuk materi 2 mata kuliah, yang berita baiknya, keduanya open book. Tetapi, hantaman ini kurang begitu berarti. Bencana berikutnya muncul di hari berikutnya, ketika ujian 2 mata kuliah lain, salah satunya open book, dan satunya closed book.

Biasanya, para dosen yang baik hati memberikan hardcopy materi kuliah. Kasus yang tidak biasa, para dosen yang baik lainnya memberikan softcopy dalam bentuk PDF yang bisa dicetak. Nah, di ujian mata kuliah open book di hari kedua ini, Pak Dosen adalah pemberi materi kuliah dalam bentuk softcopy. Sehingga untuk mempermudah pekerjaan, saya berniat untuk belajar materinya sebelum mencetak di keesokan harinya.

Malang bukan kepalang, di hari H ujian, saya berniat mencetak dokumen tersebut di koperasi mahasiswa... yang ternyata tutup. Pergi ke perpustakaan namun saya tidak paham cara mencetak via printer perpustakaan (harus menggunakan kartu pelajar yang ada isian uangnya, sementara saya tidak tahu cara mengisinya). Terbilang 15 menit sebelum ujian, saya mencoba printer yang ada di laboratorium komputer. Seharusnya bisa mencetak dengan cepat, tetapi setelah utak-atik sana sini, printer-nya sedang bermasalah. Alhasil, 15 menit itu saya gunakan untuk menyalin materi sekenanya dari softcopy ke tulisan tangan kilat nian yang sampai-sampai butuh 1 menit untuk mengenali huruf-huruf itu. Alhasil, pekerjaan ujian itu saya kerjakan dengan penuh rasa khawatir.

Saya berusaha pasrah dan tawakkal atas semua yang terjadi. Kejutan muncul tak sampai seminggu setelahnya di perjalanan kereta pulang ke Compiègne setelah wawancara magang. Benar saja, masuklah surat elektronik yang berisi hasil ujian. Dan Alhamdulillah, kata-kata MENTION untuk mata kuliah itu muncul di ponsel saya. Paling tidak, ini yang saya bisa bilang momen pengumuman ujian paling dramatis dalam kereta (lebay, tetapi tetap bersyukur, Alhamdulillah...)

Sumber: http://s1152.photobucket.com/user/rumadi_aza/media/100_4972.jpg.html
---------------------------Sekitar satu tahun sebelumnya--------------------------------------------

Panasnya Surabaya sore itu membawa si kuda besi MIO-J saya terparkir di depan gedung AJBS. Niatnya bukan membeli perkakas rumah tangga, tapi memasuki gedung klasik tempat saya harus menempuh seperempat hari saya selama 4,5 bulan untuk les bahasa Perancis. Dari luar, mungkin memang tempatnya menimbulkan kesan... bener nggak sih ini tempatnya? Tetapi, kesan itu berubah ketika masuk ke dalamnya. Tempatnya nyaman sekali dan menggunakan gaya perabot modern. Pada intinya, asyik deh!

Menjadi salah satu dari beberapa orang penerima Beasiswa Fast-Track Double Degree Indonesia Perancis (DDIP) membuat les bahasa Perancis menjadi "pelaku utama" hilangnya 5x5 jam dari sepekan. Tapi, persepi hilang tersebut berubah ketika saya, yang masih asing dengan suasana di tempat itu, melihat wanita yang memesona dan tegas berikut agak centil tiba-tiba mengarahkan kami masuk ke ruang kelas nomor 5. "Hari ini, kita akan perkenalan, dan langsung menggunakan bahasa Perancis," demikianlah 'arahan' manis dari instruktur ini.

"Kita tidak akan menuliskan sesuatu apa pun, kita harus segera langsung berbicara!" Lanjutnya. Masih roaming di beberapa ucapan, berusaha mencerna suara asing yang dilantunkan oleh beliau. "Jêmapèl? Jumapèl? Zumapèl?" Ah entahlah. Yang saya bisa pastikan, ada hurus J di sana, dengan vokal "e" pepet (maklum dulu Guru Bahasa Jawa SD saya sangat tegas, jadi artikulasi 'e' sering saya asosiasikan dengan pepet (ê) atau taling (é,è) masih menancap jelas di ingatan saya. Dan indahnya, penggunaan coretan di atas huruf 'e' ini berbeda terus, baik di Jawa, Mandarin, dan Perancis). "Jêmapel," berikut saya menirukan ucapan itu, dan diikuti nama panggilan. Dilanjutkan beberapa kisah pendek perkenalan (based on hearing) seperti ini:
"Vu vêné du?" [oh ini tanya asalnya dari mana]
"Jê vian dê Sidoarjo."
"Kèl é votr adrès?" [adrès, alamat ya?]
"Kèl é votr dêpartêmong?" [emmmm, ini jurusan]
"Kèl é votr numéro dê télépong?" [emmmm, nomor hape?]
"Ongsyongté" [mungkin nice to meet you, ya? Mandarin: rènshi nǐ, hěn gāoxìng]
Berdasarkan pembicaraan tersebut, si Ibu dengan lidah ajaib ini (ini pujian, anggap saja artikulasi saya luar biasa parah saat itu) membuka kedoknya sebagai Irma Nurul Husnal Chotimah (sebut saja Madame Irma, tapi saya tidak ragu untuk memanggilnya Teh Irma), seorang yang dulunya pernah tinggal agak lama di Perancis. Lhoala pantesan ilate ajaib. Dan dengan ramahnya melanjutkan sesi perkenalan sambil keliling sekelas agar satu murid bahasa Perancis bisa mengenal sebisanya dalam bahasa Perancis. Dan kejutan lagi, ternyata ada peserta les bahasa Perancis di kelas itu yang ternyata dosen ITS yang masih muda yang hendak melanjutkan S3 ke Perancis juga. Polosnya saya, saya memanggil beliau dengan sapaan Mas (hanya selisih 4/5 tahun kok).

Rutinitas menyenangkan dan sedikit tidak menyenangkan (karena tidak paham-paham) itu berlanjut hingga sebelum ujian DELF (sertifikasi penggunaan bahasa Perancis untuk orang asing) sesi Juni. 4 bulan memang bukan waktu yang singkat. Perjalanan menerjang badai hujan dan banjir di masa-masa Tugas Akhir, dan sempat tidak ikut les karena harus kabur ke Jakarta. Berbagi tawa, sedih, kisah di Perancis (yang menjadi nyata), kisah Tugas Akhir, kisah wisuda, kisah "Vous êtes un chien?" (sebut saja pelakunya Kumbang, bukan saya!), kisah Pak Leman (penjual mie pangsit depan AJBS), kisah perpisahan, dan begitu seterusnya berlarut menjadi memori indah yang terbagi di masing-masing kenangan. Inspirasi, motivasi, nasihat, dan doa juga menjadi saksi transfer ilmu untuk indahnya kenangan tersebut. Kami dulu bukan apa-apa, karena kadang untuk meraih suatu ilmu, ilmu lain harus dikuasai dulu.

Berawal dari titik nol 27 Januari 2014. Perjuangan bahasa Perancis ini dimulai.
Mungkin kenangan kami hanya terbilang seujung kuku di benak para Bapak Ibu Guru (gelar terindah yang pernah ada dalam hidup, selain orang tua tentunya). Namun, jasa-jasamu akan tetap abadi bersama ilmu. Karena ilmu yang dibagi tidak pernah habis.

Tulisan ini dipersembahkan khusus untuk para guru di IFI tercinta, untuk peringatan hari Jêmapèl
Madame Irma, Madame Norma, Monsieur Karguna, Monsieur Tarsono, Monsieur Eri, Monsieur Dedi, Madame Wea, Riyaz, Monsieur Wawan, Monsieur Dumesnil (direktur IFI Surabaya... dulu), dan para pengajar serta staf lainnya yang tidak mungkin tersebut satu-satu.

Credits to Galang Amanda Dwi Pamungkas, taken from Facebook Photos

Merci Beaucoup, Madames, Monsieur.
Best regards,
Si pendiam dalam kelas, yang bercita-cita menjadi guru, Hani Ramadhan, DDIP angkatan 3

Wassalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh