Selasa, 16 September 2014

Sakura Day 3 (REAL DAY, REAL DEAL) Bagian 1 dari 2



Assalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh…

Maaf sudah sekian lama vakuum, hari-hari itu saya gunakan untuk mengurus ini itu sebelum keberangkatan ke negeri keju, Perancis. Meskipun tulisan ini saya tulis di negeri bendera kombinasi warna merah-putih-biru, semoga ingatan saya masih hangat-hangat suam-suam kuku.

Hari ketiga SAKURA EXCHANGE adalah hari pertama yang sebenarnya. Hari ini kami serombongan bersepuluh (Masih ingat tidak? Saya, Mbak Lely, Dewie, Elok, Zendy, Mia, Rizqi, Leo, Vidi, Anton) plus Bu Maria harus pergi ke Kumamoto University untuk «tur» sejenak sebelum kunjungan ke laboratorium esok harinya. Beberapa hari sebelumnya adalah hari santai (tidak juga sih), sebelum menyambut hari ini yang ditunggu-tunggu.

Pagi hari berlangsung dengan tenang bersama sarapan dan dandan kece sesuai instruksi Bu Maria malam sebelumnya. Dandan kece? Para pria berkemeja lengan panjang dan berdasi, para gadis berkemeja juga dengan blazer yang sedap dilihat. Ke-kece-an ini ditambah dengan pin AMBASSADOR yang tersemat (tertancap, untuk Zendy, karena salah satu penitinya hilang) di kemeja masing-masing. Sarapan sudah, berkas penting sudah, oke sip. Berangkatlah kami ke halte bus dan jalur terdekat dari Toyoko-Inn ke Kumamoto University. Pukul 08.30 lebih sedikit kami menunggu dengan kece (tetep dong) dan berfoto walau suasana becek-becek sumuk karena habis hujan tapi musim panas. Sesi foto berakhir dengan kedatangan bus yang kami sangat hati-hati sekali membaca karakter Jepangnya… karena karakternya mirip dan kami hanya bisa baca angka saja… sekadarnya. Dan tepat waktu, pukul 08-sekian bus-nya datang, Jepang lho.

Di bus, tetap menyenangkan, seperti perjalanan bus sebelumnya di Mt. Aso, teknologi penukar-uang-otomatis-sehingga-tidak-perlu-pakai-kembalian-dan-cari-uang-kecil tetap ada. Teknologi transportasi mandiri yang seperti ini memang menyenangkan dan menakjubkan. Namun, di tengah nikmat perjalanan, Bu Maria mengingatkan sesuatu… “Elok, suvenir untuk ke Kumamoto sudah dibawa?”. Wajah pucat Indonesia beriringan mewarnai seisi bus. Berdasarkan musyawarah kilat dibumbui kecemasan masing-masing. Diputuskan Elok dan Rizqi akan naik bus lagi di halte Kumamoto University untuk mengambil suvenir di Toyoko Inn.

Sesudah turun dari bus, kepanikan masih terasa di tengah berisiknya suara serangga musim panas di Jepang. Dibantu oleh petunjuk arah bus oleh Mbak Sary yang menyambut kami (maaf ya, Mbak baru melihat wajah-wajah kami sudah diberi suguhan peristiwa panik). Alhasil, formasi kami terpisah dan 9 orang ini (termasuk Bu Maria tentu saja) mencari jalan ke ruang rapat C gedung Graduate School of Science and Technology untuk pertemuan dengan Pak Prof Usagawa dan Bu Kishida. Teriknya mentari dan cakap-cakap ringan (kalau saya mah pendiam, saudara-saudari semua harus mengakui itu) masih mengiringi langkah gontai kami. Langkah indah yang dimotivasi harapan kembalinya Elok dan Rizqi dengan tepat waktu... dan selamat.

Materi presentasi dan buku mengenai Graduate School of Science and Technology
Suasana presentasi

Bu Kishida, semoga kita bertemu lagi ya di ICAST, Perancis...
Ini Pak Prof menerima kenang-kenangan yang fantastis

Di ruang rapat itu, Pak Prof menunggu kami dan asyik dengan laptop beliau. Tidak heran mengingat Pak Prof bisa membalas surel di Myanmar atau entah di mana pun itu dengan secepat dan semampu mungkin. Dan saya pun bisa menyimpulkan tipisnya perbedaan etos kerja yang tinggi dan sikap workaholic, untuk kasus ini, saya putuskan mengklasifikasikan perilaku orang-orang Jepang ini adalah representasi dari etos kerja yang tinggi. Selagi bercakap ringan dan membaca katalog universitas di tengah hening yang menyesakkan akibat aksi menunggu Elok dan Rizqi di ruang rapat itu, musyawarah yang lagi-lagi kilat dilakukan untuk memulai presentasi sekilas mengenai kota Kumamoto dan negeri Jepang.


Dari presentasi Pak Prof, di samping indahnya alam kota Kumamoto dan Jepang, terlihat betapa kuatnya relasi dan kerjasama riset antara industri dan universitas-universitas yang ada di Jepang. Selain itu, perusahaan-perusahaan Jepang, di berbagai bidang, termasuk sipil, telekomunikasi, otomotif, memiliki keutamaan bidang risetnya yang unggul. Saya pun berandai-andai mengapa perusahaan-perusahaan di Indonesia tidak memiliki basis riset yang demikian tenar. Namun, kerisauan itu terjawab dengan sebersit pikiran saya (CMIIW lho ya) mengenai konsumerisme bangsa Indonesia dan kelasnya yang merupakan target pasar dan silang perdagangan. Seketika itu pula, pikiran saya melayang juga ke cita-cita mendirikan lab riset mandiri, baik di bidang perilaku sosial maupun teknologi dan sains, di Indonesia (mungkinkah? Jika Allah mengizinkan, Insya Allah. Aamiin-in dong).

Sejumput angan saya tiba-tiba pecah karena langkah kaki yang terdengar dari luar ruang rapat. Alhamdulillah, Elok dan Rizqi bisa tiba dengan selamat. Semua berkat arahan Mbak Sary dan mobile wifi milik Pak Prof yang dipinjamkan ke kami. Presentasi yang selanjutnya menghadirkan Bu Kishida dimulai begitu saja, dengan sedikit sambutan tentunya.

Sajian pengantar mengenai studi lanjut pascasarjana dan doktoral di Kumamoto University menjadi pengantar mimpi indah bagi kami sebelum menuju kunjungan laboratorium. Kemudian dihadirkan para mahasiswa Kumamoto yang berasal dari Indonesia, ada yang dari ITS (Halo Pak Darlis), dari ITB, dan lain sebagainya. Sejenak setelah itu, kami diajak untuk makan siang di kantin. Dan setibanya di sana, kantinnya ramai sekali meskipun katanya musim ujian.



Mari makaaaan, Bismillahirrahmaanirrahiim

Bagi umat muslim, bagaimana menghindari makanan haram di kantin universitas? Anda harus memicingkan mata seteliti-telitinya melihat gambar bundar berwarna-warni yang menunjukkan bahan perdagingan. Ada warna biru untuk ikan, oranye untuk ayam, (lupa warna apa) untuk sapi, dan merah jambu untuk babi. Sehingga, waspadalah! (kata Bang Napi). Ketika makan siang bersama mahasiswa Indonesia yang ada di Kumamoto, kami bercerita banyak, mulai dari di mana restoran sushi, di mana toko murah meriah, dan lain sebagainya. Sampai waktunya untuk shalat Dzuhur, kami yang muslim pun beranjak pergi.

Beruntunglah, jarak untuk pergi ke masjid (iya, di sana ada masjid) kedua di pulau Kyushu (Kumamoto ada di pulau Kyushu, kalau Tokyo dan lainnya ada di pulau Honshu) tidak terlalu jauh, bisa ditempuh dengan jalan kaki sekitar 5-10 menit. Yang menarik adalah, masjid ini dinamakan Kumamoto Islamic Center (KIC), yang berarti tempat ini adalah pusat kegiatan muslim di kota ini. Para penggiatnya tidak hanya dari Indonesia, ada juga beberapa mahasiswa dari Pakistan, Malaysia, dan mahasiswa muslim internasional maupun muallaf lainnya dari Jepang (kalau ada sih, belum tanya) yang kuliah di Kumamoto University. 




 

....bersambung....

Setelah ini, berlanjut ke petualangan hari ketiga bagian kedua (karena panjang), mohon tetap terjaga di sini ya :) Semoga bermanfaat.

Wassalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh.


0 komentar:

Posting Komentar