Rabu, 17 September 2014

MONEV PKM (2013) yang Menguras Tenaga

Assalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh

Kembali lagi bersama penulis yang menumpuk hutang menulisnya. Ini pelunasan tulisan dari zaman sekitar setahun lalu lebih sekian bulan. Mohon maaf ya jika rasanya membuat penuh, tapi apa daya, momen hari dalam tulisan ini (bahkan) sangat memorable. Jadi ceritanya, kejadian-kejadian ini terjadi di pada 2 hari 1 malam di bulang Agustus 2013 yang mengambil tempat di kantor PT. Pertamina dekat Monas, kantor AirAsia, suatu ATM di jalan menuju pulang ke rumah Paman, Stasiun Gambir, kereta Bima, Stasiun Pasar Turi, Jurusan Teknik Informatika ITS, dan Grha Sepuluh Nopember ITS. Rasanya? Baca terlebih dahulu ya!

Suatu ketika, hari yang ditunggu-tunggu datang. Di tengah sibuknya menariknya pekerjaan Kerja Praktik (KP) saya, Adit, saya merencanakan untuk meninggalkan amanah KP saya sejenak untuk "sowan" ke ITS untuk memenuhi amanah saya yang lain: Monitoring dan Evaluasi PKM oleh DIKTI. H-2 keberangkatan sebenarnya saya sudah kontak teman saya yang menjadi agen perjalanan untuk pesan pesawat, biar cepat istilahnya. Namun, karena terlalu mepet, alhasil saya tidak bisa pesan tiket pesawat. Malah pesan tiket pulang terlebih dahulu (yang akhirnya tidak saya ambil karena terlalu lelah). Tapi, tragedi pesawat tidak berhenti sampai di situ.

Ketika KP sekaligus perencanaan H-1 keberangkatan, tim KP saya sebenarnya sudah menyelesaikan tugas. Namun demikian, saya masih usrek sendiri mengatur kepulangan ke Surabaya demi mengejar MONEV. Ditambah lagi harga tiket makin melonjak dan semakin tipis tempat duduknya. Berikut Maskapai AirAsia yang mengharuskan saya untuk bayar dengan kartu kredit, membuat saya semakin heboh telepon Mbak, Om, dan lain sebagainya. Berita hebohnya lagi, teman setim PKM yang juga sedang KP di Bogor sedang meluncur ke Jakarta untuk ikut pulang ke Surabaya. Sedangkan tiket kepulangan pesawat belum di dapat. Namun, semua kegilaan tersebut dilegakan sejenak ketika saya harus turun untuk salat Dzuhur. O ya keterangan lagi, saat itu sedang bulan Ramadhan, jadi di musala PT. Pertamina diadakan kajian Dzuhur. Alhamdulillah, cukup menyejukkan hati.

Ketika kajian selesai, saya masih punya harapan adanya kursi kosong di pesawat AirAsia yang berangkat esok pagi. Sekitar pukul 2, saya minta izin untuk pulang lebih awal kepada pembimbing untuk mengurus tiket keberangkatan ke Surabaya. Perjalanan dengan ojek dari kantor KP ke kantor Air Asia, mengambil uang, dan proses mengantre masih mulus, sih. Sampai tiba giliran saya...
"Mbak, pesan tiket dua kursi untuk penerbangan besok pagi masih ada?" tanyaku dengan mata berbinar-binar penuh harap. "Maaf Mas, tempat duduknya sudah habis," jawab si Mbak dengan senyum khas perusahaan.

JDER! Kejutan di siang bolong yang mewakili gerahnya Jakarta. Sedikit mendramatisasi, saya merasa hilang arah dan tujuan. Okelah, saya langsung pesan tiket pulang saja di sore hari MONEV ke Shidqi. Masih merasa bisa menjalankan amanah KP setelah pergi MONEV. Klik, OK, pesan singkat sudah terkirim ke nomor Shidqi. Dengan langkah lunglai dari bus TransJakarta ke halte yang memang seharusnya saya turun, saya pun masih bersemangat untuk cari ATM untuk melunasi pembayaran ke Shidqi. Setelah berjalan (kaki) cukup jauh dan menemukan mesin ATM, datanglah pesan singkat dari Luluk, sang partner perjalanan sekaligus ketua tim, yang memberitahukan posisinya sekarang dan menanyakan bagaimana nasib kita. Ya baiklah, semakin paniklah di perjalanan itu.

Dengan baterai hape yang semakin sekarat, saya berjalan lagi untuk pulang ke rumah Om. Di tengah keputusasaan yang menggelitik hati, saya ternyata bertemu pembantu di rumah Om yang memang berusaha mencari saya untuk dipulangkan... ke rumah Om. Maaf, ya Pak merepotkan. Alhasil dengan usaha dan upaya karena pulsa menipis juga, Luluk memberi inspirasi saya untuk mencari tiket kereta. Sesampainya di rumah Om, saya langsung cari informasi untuk keberangkatan kereta dari Jakarta dan kedatangan kereta ke Surabaya... yang berangkat MALAM ITU JUGA.

Oke, cukup cerah, ada tiket yang tersedia. Tapi, setelah shalat Magrib berjamaah di rumah Om, alias H-1 jam keberangkatan, entah keadaan semakin runyam. Pulsa habis, packing sekadarnya, bagaimana cara ke stasiun. Semua pikiran itu tertebus dengan solusi menggunakan telepon rumah Om saya dan pengantaran kilat dengan ojek dari rumah Om ke stasiun Gambir sekitar 30 menit sebelum keberangkatan. Berbekal uang untuk beli pulsa dari Om, akhirnya dengan tergesa-gesa dan berharap semuanya akan berjalan baik-baik saja saya mengucapkan salam akan jumpa lagi di hari berikutnya.

Kemacetan Jakarta? Iya, tantangan itu juga muncul ketika paket kilat dengan isi manusia itu dilaksanakan. Dengan napas terengah-engah, saya pun tiba di stasiun dengan (paling tidak) masih bisa lari untuk mencari Luluk dan mengejar jam keberangkatan kereta yang kalau tidak salah hanya tinggal 15 atau 20 menit saja. Beruntunglah, setelah pelarian yang tidak lama, saya bersua dengan Ibu Kepala Suku ini. Dengan air muka yang tidak kalah cemas dan khawatir, kami belanja sedikit bekal untuk kehidupan kami di kereta dengan perjalanan yang terjadwal sekitar 12 jam.

Sampai di dalam kereta, Alhamdulillah, kursinya cukup empuk dan dapat di posisi yang cukup nyaman. Shalat Isya di kereta, makan camilan, menonton Captain America dan Spy Kids 4 di kereta sepertinya adalah kegiatan yang mampu melepas gerah dan ber-hahahihi setelah kejadian-kejadian gila seharian. Sebenarnya kami berdua membawa amunisi buku, tapi apa daya, kami sudah tak sanggup berkonsentrasi di perjalanan untuk membacanya. Demikianlah petualangan berlalu lancar hingga matahari terbit menjelang.

Sebelum bercerita tentang saat sapaan mentari mencium keletihan kami, momen sahur dan salat subuh tidak berlalu cukup spesial. Jikalau ada yang dikatakan spesial itu cukup roti dan minum, dilanjutkan tidur sejenak hingga tiba waktu subuh. Dan cling, sang surya menampakkan rona jingga di balik pemandangan gunung-hutan-sawah-dan-berulang yang tampak di jendela. Diskusi sejenak kami berujung pada kepanikan berikutnya mengenai jadwal presentasi yang seharusnya berlangsung pagi ini dan kami tak kunjung tiba di stasiun Pasar Turi. Tapi, saya dengan sangat masuk akal mengurungkan pikiran untuk bertanya ke masinis, "Pak, apa keretanya tidak bisa lebih cepat?"

Perginya inspirasi tidak masuk akal tersebut diiringi dengan pesan singkat dari ayah saya mengenai di mana posisi saya dan nanti dijemput siapa. Dengan sangat pasrah, kutulis pesan yang menjelaskan posisi masih di kereta dan dijemput teman ke ITS dulu karena tidak mungkin pulang ke rumah kepada ayah. Semenarik itulah kepasrahan kami hingga kami berpesan singkat lagi ke tim PKM kami... yang sepertinya tidur kelelahan habis sahur di pagi itu karena juga sudah berusaha keras. Harapan kami, bisa diusulkan pemunduran jadwal. Dan syukur Alhamdulillah, cukup lama kemudian, kami yang di kereta mendapat kabar bahwa ternyata jadwal presentasi MONEV DIKTI bisa (diatur untuk) maju kapan saja asalkan hari itu. Saya dan Luluk pun bisa bernafas sedikit lebih panjang, karena masih merasa tak sanggup meratapi hal apa lagi yang akan terjadi di hari itu.

Tiba di stasiun Pasar Turi setelah terlambat sekian jam, menit? Entah saya sudah lupa, pada intinya terlambat. Kami masih berusaha mengukur seberapa panjang nafas kami hingga tiba untuk presentasi di ITS dan kembali KP ke Jakarta dan Bogor di malam harinya. Sedikit dramatis lagi, perjuangan menunggu kami ditambah dengan menghalau tukang taksi dan becak yang menawarkan jasa pengantaran (apa sih). Penantian berakhir ketika Ika dan Mas Dedy, para penjemput kami ke ITS datang. Terima kasih banyak Budhe Tutik dan Mas Pilaaay (yang ponselnya dipinjam Mas Andre untuk sidang Tugas Akhir).

Sampai di ITS, saya merasa muka saya tidak berupa muka sehat lagi setelah semua kejadian hari sebelumnya dan korban terlambat kereta api. Dengan berucap sesedikit mungkin ke para penghuni laboratorium IBS, markas pengerjaan PKM kami, saya melangkahkan kaki yang berat untuk menyambut gayung air menyegarkan rupa sejenak. Untunglah, kaki saya bisa beristirahat sementara di bawah meja, dan berganti tangan yang (masih harus) bekerja di berkas laporan akhir.

Beberapa menit sebelum salat Asar (kalau tidak salah, harap dikoreksi ya Luluk, Dany, Awal, atau Helmy), kami pun maju ke juri DIKTI yang berasal dari UGM. Berita buruknya, proyek PKM kami yang bernama INGGIL, dikomentari habis-habisan karena bahasa krama yang bahasa kerennya improper atau tidak cocok dengan bahasa krama alus yang seharusnya. Kami langsung berkesimpulan, durian runtuh itu jatuh, tepat di perasaan kami, sakitnya menusuk-nusuk karena malu dan mati gaya.

Tapi apa boleh buat, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Kami tetap bersyukur dengan semua yang terjadi. Sebenarnya dan seharusnya, saya dan Luluk harus segera pergi ke bandara saat itu juga untuk check-in. Tapi setelah semua kejadian hari itu (dan hari sebelumnya), kami memutuskan untuk menghanguskan tiket tersebut dan beristirahat total fisik dan mental hingga hari ahad. Oya, momen kembali ke Jakarta tersebut adalah momen naik pesawat pertama kali oleh Luluk dan ketika itu juga, saya bertemu Hani Rosdahlia.

Akhir kata, saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat di MONEV PKM ini. Kalian memang luar biasa! Teruntuk Ibu Kepala Suku Luluk Eko Mawati, Latifa Nurrachma Pradany, Awalia Harfiani, Helmy Satria Martha Putra, kalian memang TOP banget!

Terima kasih atas momen yang luar biasa, memang kita tidak maju PIMNAS 26, tapi saya merasa perjuangan ini layak untuk diceritakan dan dikenang. Karena saya merasa kita berjuang demi Allah Ta'aala, dan Insya Allah tidak ada yang sia-sia serta selalu hikmah yang bisa diambil. Ada kawan di samping kita yang membuat tersenyum, kehangatan keluarga kita yang menerima kita apa adanya, serta perjuangan yang tidak akan habis jika dikenang.

Sekian tulisan saya, semoga bermanfaat. Maafkan jika ada salah kata atau ingatan.
Wassalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh.

0 komentar:

Posting Komentar